Monday, December 21, 2009

UMMU RUMAN SEORANG BIDADARI SURGA

Wanita ini bernama Zainab atau biasa disebut Di’din. Tapi ia lebih sering dipanggil dengan laqab (nama panggilan) Ummu Ruman. Wanita ini anak perempuan dari Amir bin Uwaimir bin Abdullah Syams bin ‘Iqab. Nasabnya berakhir di Kinanah.

Ummu Ruman tinggal di wilayah yang bernama As-Sirat, yaitu sebuah dataran berkontur pegunungan dan berbukitan di Jazirah Arabia. Ketika sampai usia akil balig, ia dinikahkan dengan pemuda sedesanya yang bernama Harits bin Sakhbarah bin Jurtsumah Al-Kaher. Dari pernikahan ini lahirlah seorang putra yang diberi nama Ath-Thufail.

Kemudian Ummu Ruman dan anaknya, Ath-Thufail, dibawa Harits pindah ke Makkah. Di Makkah, keluarga kecil ini tinggal dan mendapat perlindungan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. Sayang, Harits tidak dikarunia Allah swt. dengan umur panjang. Ia meninggal setelah setahun tinggal di Makkah. Abu Bakar kemudian menikahi Ummu Ruman dan merawat Ath-Thufail. Ummu Ruman pun menjadi istri kedua Abu Bakar.

Dari istri pertamanya, Abu Bakar memiliki dua orang anak, yaitu Asma dan Abdullah. Dari pernikahan dengan Ummu Ruman, Abu Bakar pun mendapat dua orang anak, yaitu Aisyah dan Abdurrahman. Selisih usia Asma dan Aisyah sepuluh tahun. Ummu Ruman menyatukan Ath-Thufail, Asma, Abdullah, Aisyah, dan Abdurrahman dalam asuhannya.

Ummu Ruman masuk Islam ketika Abu Bakar masuk Islam. Jadi, ia termasuk salah satu as-sabiqunal awwalun (kelompok pertama yang masuk Islam). Seluruh anak-anaknya mengikuti jejaknya masuk Islam, kecuali Abdurrahman. Dengan begitu, rumah Ummu Ruman adalah rumah kedua yang berada dalam naungan Islam setelah rumah Rasulullah saw.

Berbagai macam siksaan yang dilakukan kafir Quraisy kepada kaum muslimin di Makkah juga menimpa diri Ummu Ruman. Apalagi ia aktif bahu-membahu dengan suaminya, Abu Bakar, menyelamatkan orang-orang yang telah memeluk Islam ketika itu dari gangguan kafir Quraisy.

Sebagai ibu, Ummu Ruman sangat disiplin dan berhasil mendidik anak-anaknya. Sebagai seorang istri, ia sangat menghormati hak-hak suaminya. Dan, ia adalah seorang wanita yang menepati janji lagi bijak bestari. Sifat-sifat mulia itu terekam dalam peristiwa Rasulullah saw. meminang Aisyah.

Muhammad bin Amr menceritakan kepada kami. Ia berkata, Abu Salamah dan Yahya menceritakan kepada kami, ketika Khadijah telah meninggal dunia, Khaulah binti Hakim –istri Utsman bin Mazh’un—datang menemui Rasulullah saw. dan berkata, “Ya Rasulullah, tidakkah engkau menikah lagi?” Beliau berkata, “Dengan siapa?” Khaulah berkata, “Apabila engkau mau, engkau dapat menikahi seorang gadis, atau seorang janda.” Beliau bertanya, “Siapakah gadis tersebut?” Khaulah menjawab, “Putri hamba Allah Azza wa Jalla yang paling engkau cintai di muka bumi, Aisyah binti Abu Bakar.” Beliau bertanya lagi, “Lalu siapakah janda tersebut?” Khaulah menjawab, “Saudah binti Zam’ah. Ia telah beriman kepadamu dan mengikuti segala yang engkau ucapkan.” Rasulullah berkata, “Kalau begitu pergilah kepada keduanya, dan sebutkan namaku kepada mereka.”

Khaulah kemudian datang ke rumah Abu Bakar, dan ketika masuk ia berkata, “Wahai Ummu Ruman, kebaikan dan keberkahan apakah yang dicurahkan Allah Azza wa Jalla kepada kalian?” Ummu Ruman bertanya, “Apakah itu?” Khaulah menjawab, “Rasulullah saw. mengutusku meminang Aisyah untuk beliau.” Ummu Ruman berkata, “Kalau begitu, tunggulah sampai Abu Bakar pulang.”

Setelah Abu Bakar tiba, Khaulah menyampaikan maksud Rasulullah saw. Setelah mendengan kabar itu, Abu Bakar berkata, “Tunggu sebentar.” Abu Bakar pun keluar rumah. Ummu Ruman berkata kepada Khaulah, “Sesungguhnya Muth’im bin Ady pernah menyebutkan nama Aisyah di hadapan putranya, dan demi Allah, Abu Bakar tidak pernah menjanjikan sesuatu lalu melanggarnya.”

Abu Bakar pergi menemui Muth’im bin Ady. Ternyata Muth’im menarik kembali ucapannya karena khawatir anaknya masuk Islam. Setelah itu, Abu Bakar berkata kepada Khaulah, “Panggillah Rasulullah saw. kemari.” Khaulah pun pergi menjemput Rasulullah saw. Tak lama kemudian Abu Bakar menikahkan Rasulullah saw. dengan putrinya, Aisyah.

Tak lama setelah pernikahan itu, Rasulullah saw. mendapat perintah untuk berhijrah. Abu Bakar diminta Rasulullah saw. mendampingi. Abu Bakar segera menyampaikan hal itu kepada isterinya, Ummu Ruman. Berita itu tidak membuat Ummu Ruman takut, meski ia harus tetap tinggal di Makkah bersama dengan anak-anaknya di bawah ancaman mara bahaya yang mungkin terjadi. Ummu Ruman justru berkata, “Sesungguhnya keluarga Rasulullah saw. harus menjadi teladan kita.”

Setelah Abu Bakar berangkat mendampingi Rasulullah saw. menuju Madinah, Ummu Ruman tetap melakukan tugas dan perannya seperti biasa. Tak lama kemudian ia menyusul hijrah ke Madinah bersama keluarganya dan keluarga Rasulullah saw., Fathimah, Ummu Kaltsum, Saudah, Zaid bin Haritsah, Abu Rafi’, hamba sahaya Rasulullah saw., Abdullah bin Ariqazh yang diutus Nabi untuk membawa mereka semua ke Madinah. Thalhah bin Abdullah pun turut serta dalam kafilah ini.

Ketika tiba di Madinah, Ummu Ruman berkata kepada suaminya, “Wahai Abu Bakar, tidakkah engkau mengingatkan Rasulullah saw. tentang perkara Aisyah?” Maka Abu Bakar segera berangkat menemui Rasulullah saw. dan berkata kepadanya, “Tidakkah engkau ingin menggauli keluargamu, ya Rasulullah?”
Kisah selanjutnya Aisyah sendiri yang menceritakannya. Aisyah r.a. berkata, “Kami kemudian pergi ke Madinah dan tinggal di kediaman Bani Harits bin Khazraj, ketika itu saya tidak enak badan dan rambut pun rontok. Ibuku –Ummu Ruman—kemudian mendatangiku yang ketika itu aku berada di sebuah ayunan bersama teman-temanku. Ia kemudian memanggilku. Aku pun mendatanginya meski tidak tahu apa yang ia inginkan dariku.

Ia kemudian memegang tanganku dan menghadangku di pintu rumah, hingga aku mulai merasa tidak tenang. Ia kemudian mengambil sesuatu dari air dan mengusapkannya pada wajah dan kepalaku. Ia kemudian memasukkanku ke sebuah rumah yang sudah dipenuhi wanita-wanita Anshar. Mereka berkata, ‘Dengan segala kebaikan dan keberkahan, dan rezeki yang baik.’ Ia kemudian menyerahkanku kepada mereka dan segera mendandaniku, dan hal ini tidak membuatku merasa takut kecuali kedatangan Rasulullah saw. Mereka kemudian menyerahkanku kepada beliau.” (HR. Bukhari)

Hubungan Rasulullah saw. dan Aisyah mendapat cobaan yang begitu dahsyat. Peristiwa ini juga berat dirasakan oleh Ummu Ruman, ibu Aisyah. Pada tahun keenam Hijriah, kaum munafikin menghembuskan fitnah yang menyerang kehormatan dan kemuliaan Aisyah. Ketika pulang dari memerangi Bani Musthaliq, Aisyah tertinggal rombongan Rasulullah saw. Ada seorang sahabat menemukan Aisyah dan mengantar pulang ke Madinah.

Sesampai di Madinah Aisyah sakit. Ia meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk dirawat di rumah ibunya, Ummu Ruman. Ketika itu sebenarnya sang ibu telah mendengar fitnah yang dihembuskan oleh kaum munafikin terhadap kesucian Aisyah. Ia berusaha menyembunyikan kabar itu dari anaknya.

Dari Masruq bin Ajda’ berkata, Ummu Ruman menceritakan kepadaku seraya berkata, ‘Ketika kami sedang duduk bersama Aisyah, tiba-tiba masuk seorang wanita Anshar dan berkata, “Semoga Allah melakukan yang demikian terhadap fulan!” Ummu Ruman kemudian berkata, “Siapakah orang itu?”

Wanita tersebut berkata, “Ia adalah putraku yang menceritakan desas-desus itu.” Ummu Ruman bertanya, “Apakah desas-desus tersebut.” Wanita itu pun menceritakan isu yang merebak di tengah kota berupa tuduhan terhadap Aisyah r.a. Aisyah kemudian berkata, “Apakah Rasulullah saw. telah mendengar berita tersebut?” Ia berkata, “Ya.” Ia bertanya, “Dan Abu Bakar?” Wanita itu menjawab, “Ya.” Mendengar itu, Aisyah pun jatuh pingsan.

Ketika sadar, Aisyah menemukan dirinya didera demam yang sangat tinggi. Saya –Ummu Ruman—lalu menghamparkan pakaiannya untuk menutupi tubuhnya.”

Tak lama kemudian Rasulullah saw. datang dan bertanya, “Bagaimana kondisi orang ini?” Ummu Ruman menjawab, “Ya Rasulullah , dia didera demam yang sangat tinggi.” Beliau berkata, “Mungkin saja karena desas-desus yang terkait dengan dirinya.” Ummu Ruman menjawab, “Ya.”

Aisyah kemudian duduk dan berkata kepada Rasulullah saw., “Kalaupun aku bersumpah, engkau tidak akan mempercayaiku. Dan bila aku mengatakannya, niscaya engkau tidak akan memaafkanku. Perumpamaan diriku dan dirimu bagaikan Ya’qub dan anak-anaknya yang berkata, ‘Dan Allah Maha Penolong atas apa yang kalian ceritakan.’”

Ummu Ruman berkata, “Beliau kemudian keluar dan tidak mengatakan apapun hingga Allah menurunkan firmanNya tentang kesucian Aisyah. Aisyah kemudian berkata, ‘Segala puji hanya untuk Allah semata, dan bukan pujian untuk seorang pun, juga tidak untuk dirimu.” (HR. Bukhari dalam Kitab Maghazi, hadits nomor 3828).

Setelah peristiwa itu, di tahun keenam Hijriah itu juga, Ummu Ruman wafat karena sakit yang dideritanya. Rasulullah saw. ikut turun ke dalam kuburannya dan berdoa di sana. Beliau berkata, “Barangsiapa yang ingin melihat wanita bidadari surga, hendaklah melihat Ummu Ruman.”

Wednesday, December 16, 2009

Nota Seorang Isteri

Nabi s.a.w bersabda yang bermaksud:

“Sebaik-baik kamu adalah kamu yang terbaik kepada keluarganya, dan aku adalah orang yang paling berbuat baik untuk keluargaku!”
(Hadith Riwayat Tirmidzi)

Berbuat baiklah kepada setiap insan dan sesama manusia tidak kiralah siapa kita dan ianya sepatutnya dilatih seawal peringkat institusi keluarga lagi. Di dalam setiap kualiti yang boleh diukur pada jati diri seorang muslim, manusia yang dianggap terbaik oleh seorang Nabi, utusan Allah, adalah manusia mukmin yang berlaku baik kepada keluarganya.

Kebaikan adalah lawan setiap kejahatan, keburukan, atau kekurangan. Baik dalam erti kata sabar, ikhlas dan redha dalam menangani segala masalah atau dugaan yang mendatang dalam melayari kehidupan yang fana ini.

Setiap perkara yang terjadi di dalam kehidupan ini adalah atas ketentuan-Nya bagi menguji kesabaran dan keikhlasan kita kepada tujuan hidup utama sebelum mati. Mati bererti berhenti, berhenti dari menikmati dan mengecapi kehidupan sebagai hamba-Nya yang sentiasa diuji.

Manusia yang sekeras batu pun hatinya, pasti akan lentur lembut dengan kebaikan. Batu yang mengalir padanya air walaupun setitis demi setitis akan terhakis sedikit demi sedikit sifat kerasnya. Jangan batu dibalas batu, nanti berkecai jadinya. Sebaliknya yang harus ada adalah sifat sabar.

Isteri dan anak adalah amanah yang harus dipelihara dengan baik. Kesilapan dan kekurangan mereka hendaklah dipantau. Hubungan yang kukuh di antara imam dan makmum membolehkan proses membetulkan antara satu sama lain dilakukan dengan baik oleh imam. Begitulah perihalnya dengan bapa atau suami dengan isteri dan anaknya.

Mulakan kewajipan membetul itu dengan membina hubungan terlebih dahulu. Sebagaimana jemaah menolak untuk dipimpin oleh imam yang dibenci, begitu jugalah isteri dan anak akan menolak nasihat dari seorang lelaki ‘asing’ bernama suami dan ayah.

PERANAN SUAMI DAN ISTERI

Tugas mendidik, mengurus rumahtangga, dan menyiapkan rohani anak-anak bukan sahaja terletak pada bahu si isteri sahaja, tetapi suami yang lebih daya kekuatan berbanding perempuan. Ramai lelaki terlepas pandang perkara ini kerana alasan sibuk.

Bila kita tengok zaman sebelum 70-an atau 80-an, memang kebanyakan wanita adalah suri rumah sepenuh masa. Kaum lelaki merupakan satu-satunya sumber kewangan keluarga. Masa itu mungkin susah benar untuk kita hendak mendengar suami menolong membuat kerja rumah apatah lagi untuk ke dapur.

Namun keadaan telah berubah di atas faktor pendidikan, sosio-ekonomi dan politik, wanita telah terjun ke bidang pekerjaan masing-masing. Malah ada di antara mereka yang menerajui sumber kewangan keluarga. Namun begitu, wanita tetap setia dengan kerja rumah dan dapur. Para suami masih lagi dianggap sebagai membantu isteri di rumah dan bukannya isteri yang membantu suami.

Adakah memang fitrah wanita itu dijadikan untuk menguruskan rumah, memasak, menyidai kain dan sebagainya? Manakala lelaki pula hanya diciptakan untuk bekerja atau cari nafkah keluarga semata-mata?

Dari zaman Nabawiyah lagi wanita sudah menjadi usahawan yang berjaya, berperang bersama lelaki di medan perang dan menjadi ahli ilmu dan periwayat hadith. Oleh itu, tidak tepat untuk mengatakan kaum Hawa telah berevolusi untuk mampu melakukan apa yang tidak mampu dilakukan sebelum ini. Soal kemampuan dan pencapaian wanita dalam masyarakat harus dilihat dan dibincangkan berdasarkan latar masa dan sejarah masyarakat ketika itu.

Dalam konteks di Malaysia, bukankah dari dulu lagi lelaki dan wanita sudah bekerja bersama-sama di sawah padi dan bendang. Ibu-ibu juga menjadi pendidik dengan mengajar anak-anak agama dan mengaji. Semua ini sesuai dengan keadaan sosio-ekonomi masyarakat waktu dahulu berdasarkan pertanian dan unit-unit sosial yang tertumpu di kampung dan luar bandar.

Tidak timbul polemik pada zaman itu tentang wanita yang merasakan hidup mereka ditekan dan peluang untuk mengembangkan potensi diri mereka disekat. Struktur sosial yang sedia ada cukup mencapai tujuan sosial dan permintaan ekonomi waktu itu.

Zaman telah berubah, dan wanita hari ini memainkan peranan yang berbeza dalam sebuah negara yang demokratik dan mengamalkan sistem ekonomi kapitalis. Seharusnya tidak timbul masalah tentang penyertaan wanita dalam kemajuan masyarakat kerana hak-hak mereka dalam pendidikan, pemilikan harta dan hak di sisi undang-undang semuanya dijamin dan dipertahankan oleh Islam.

Masalah dan polemik yang timbul selalunya berkisar tentang sejauh mana penyertaan wanita dalam ekonomi memberi kesan kepada keluarga dan anak-anak, bagaimana wanita membahagikan masa antara kerjaya dan anak-anak di rumah, dan sebagainya. Terpulang kepada wanita itu untuk mencari jawapan kepada persoalan-persoalan ini.

Sunday, December 6, 2009

Pesan-pesan untuk isteri

Artikel di bawah adalah dicopy dan dipaste. Kesabaran dan ketelitian amat penting untuk memahaminya kerana ditulis dalam bahasa indon. Selamat membaca.

Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

Anas berkata, “Para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika menyerahkan seorang wanita kepada suaminya, maka mereka memerintahkan isteri agar berkhidmat kepada suaminya dan memelihara haknya.”

Ummu Humaid berkata, “Para wanita Madinah, jika hendak menyerahkan seorang wanita kepada suaminya, pertama-tama mereka datang kepada ‘Aisyah dan memasukkannya di hadapannya, lalu dia meletakkan tangannya di atas kepalanya seraya mendo’akannya dan memerintahkannya agar bertakwa kepada Allah serta memenuhi hak suami”[1]

‘Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib berwasiat kepada puterinya, “Janganlah engkau cemburu, sebab itu adalah kunci perceraian, dan janganlah engkau suka mencela, karena hal itu menimbulkan kemurkaan. Bercelaklah, karena hal itu adalah perhiasan paling indah, dan farfum yang paling baik adalah air.”

Abud Darda' berkata kepada isterinya, “Jika engkau melihatku marah, maka redakanlah kemarahanku. Jika aku melihatmu marah kepadaku, maka aku meredakanmu. Jika tidak, kita tidak harmonis.”

Ambillah pemaafan dariku, maka engkau melanggengkan cintaku.
Janganlah engkau berbicara dengan keras sepertiku, ketika aku sedang marah
Janganlah menabuhku (untuk memancing kemarahan) seperti engkau menabuh rebana, sekalipun
Sebab, engkau tidak tahu bagaimana orang yang ditinggal pergi

Janganlah banyak mengeluh sehingga melenyapkan dayaku
Lalu hatiku enggan terhadapmu; sebab hati itu berbolak-balik

Sesungguhnya aku melihat cinta dan kebencian dalam hati
Jika keduanya berhimpun, maka cinta pasti akan pergi

‘Amr bin Hajar, Raja Kindah, meminang Ummu Ayyas binti ‘Auf. Ketika dia akan dibawa kepada suaminya, ibunya, Umamah binti al-Haris menemui puterinya lalu berpesan kepadanya dengan suatu pesan yang menjelaskan dasar-dasar kehidupan yang bahagia dan kewajibannya kepada suaminya yang patut menjadi undang-undang bagi semua wanita. Ia berpesan:

“Wahai puteriku, engkau berpisah dengan suasana yang darinya engkau keluar, dan engkau beralih pada kehidupan yang di dalamnya engkau naik untuk orang yang lalai dan membantu orang yang berakal. Seandainya wanita tidak membutuhkan suami karena kedua orang tuanya masih cukup dan keduanya sangat membutuhkanya, niscaya akulah orang yang paling tidak membutuhkannya. Tetapi kaum wanita diciptakan untuk laki-laki, dan karena mereka pula laki-laki diciptakan.

Wahai puteriku, sesungguhnya engkau berpisah dengan suasana yang darinya engkau keluar dan engkau berganti kehidupan, di dalamnya engkau naik kepada keluarga yang belum engkau kenal dan teman yang engkau belum terbiasa dengannya. Ia dengan kekuasaannya menjadi pengawas dan raja atasmu, maka jadilah engkau sebagai abdi, niscaya ia menjadi abdimu pula. Peliharalah untuknya 10 perkara, niscaya ini akan menjadi kekayaan bagimu.

Pertama dan kedua, tunduk kepadanya dengan qana’ah (merasa cukup), serta mendengar dan patuh kepadanya.

Ketiga dan keempat, memperhatikan mata dan hidungnya. Jangan sampai matanya melihat suatu keburukan darimu, dan jangan sampai mencium darimu kecuali aroma yang paling harum.

Kelima dan keenam, memperhatikan tidur dan makannya. Karena terlambat makan akan bergejolak dan menggagalkan tidur itu membuat orang marah.

Ketujuh dan kedelapan, menjaga hartanya dan memelihara keluarga dan kerabatnya. Inti perkara berkenaan dengan harta ialah menghargainya dengan baik, sedangkan berkenaan dengan keluarga ialah mengaturnya dengan baik.

Kesembilan dan kesepuluh, jangan menentang perintahnya dan jangan menyebarkan rahasianya. Karena jika engkau menyelisihi perintahnya, maka hatinya menjadi kesal dan jika engkau menyebarkan rahasianya, maka engkau tidak merasa aman terhadap pengkhianatannya. Kemudian janganlah engkau bergembira di hadapannya ketika dia bersedih, dan jangan pula bersedih di hadapannya ketika dia bergembira”[2]

Seseorang menikahkan puterinya dengan keponakannya. Ketika ia hendak membawanya, maka dia berkata kepada ibunya, “Perintahkan kepada puterimu agar tidak singgah di kediaman (suaminya) melainkan dalam keadaan telah mandi. Sebab, air itu dapat mencemerlangkan bagian atas dan membersihkan bagian bawah. Dan janganlah ia terlalu sering mencumbuinya. Sebab jika badan lelah, maka hati menjadi lelah. Jangan pula menghalangi syahwatnya, sebab keharmonisan itu terletak dalam kesesuaian.

Ketika al-Farafishah bin al-Ahash membawa puterinya, Nailah, kepada Amirul Mukminin ‘Utsman bin ‘Affan Radhitallahu ‘anhu, dan beliau telah menikahinya, maka ayahnya menasihatinya dengan ucapannya, “Wahai puteriku, engkau didahulukan atas para wanita dari kaum wanita Quraisy yang lebih mampu untuk berdandan darimu, maka peliharalah dariku dua hal ini : bercelaklah dan mandilah, sehingga aromamu adalah aroma bejana yang terguyur hujan.”

Abul Aswad berkata kepada puterinya, “Jangalah engkau cemburu, sebab kecemburuan itu adalah kunci perceraian. Berhiaslah, dan sebaik-baik perhiasan ialah celak. Pakailah wewangian, dan sebaik-baik wewangian ialah menyempurnakan wudhu.’”

Ummu Ma’ashirah menasihati puterinya dengan nasihat berikut ini yang telah diramunya dengan senyum dan air matanya: “Wahai puteriku, engkau akan memulai kehidupan yang baru… Suatu kehidupan yang tiada tempat di dalamnya untuk ibumu, ayahmu, atau untuk seorang pun dari saudaramu. Engkau akan menjadi teman bagi seorang pria yang tidak ingin ada seorangpun yang menyekutuinya berkenaan denganmu hingga walaupun ia berasal dari daging dan darahmu. Jadilah engkau sebagai isteri, wahai puteriku, dan jadilah engkau sebagai ibu baginya. Jadikanlah ia merasa bahwa engkau adalah segalanya dalam kehidupannya dan segalanya dalam dunianya. Ingatlah selalu bahwa suami itu anak-anak yang besar, jarang sekali kata-kata manis yang membahagiakannya. Jangan engkau menjadikannya merasa bahwa dengan dia menikahimu, ia telah menghalangimu dari keluargamu.

Perasaan ini sendiri juga dirasakan olehnya. Sebab, dia juga telah meninggalkan rumah kedua orang tuanya dan meninggalkan keluarganya karenamu. Tetapi perbedaan antara dirimu dengannya ialah perbedaan antara wanita dan laki-laki. Wanita selalu rindu kepada keluarganya, kepada rumahnya di mana dia dilahirkan, tumbuh menjadi besar dan belajar. Tetapi dia harus membiasakan dirinya dalam kehidupan yang baru ini. Ia harus mencari hakikat hidupnya bersama pria yang telah menjadi suami dan ayah bagi anak-anaknya. Inilah duniamu yang baru, wahai puteriku. Inilah masa kini dan masa depanmu. Inilah mahligaimu, di mana kalian berdua bersama-sama menciptakannya.

Adapun kedua orang tuamu adalah masa lalu. Aku tidak memintamu melupakan ayah dan ibumu serta saudara-saudaramu, karena mereka tidak akan melupakanmu selama-lamanya. Wahai sayangku, bagaimana mungkin ibu akan lupa belahan hatinya? Tetapi aku meminta kepadamu agar engkau mencintai suamimu, mendampingi suamimu, dan engkau bahagia dengan kehidupanmu bersamanya.”

Diriwayatkan bahwa Ibnu Abi ‘Udzr ad-Du'ali -pada hari-hari pemerintahan ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu- menceraikan wanita-wanita yang dinikahinya. Sehingga muncullah kepadanya beberapa peristiwa yang tidak disukainya berkenaan dengan para wanita tersebut dari hal itu. Ketika dia mengetahui hal itu, maka dia memegang tangan ‘Abdullah bin al-Arqam sehingga membawanya ke rumahnya. Kemudian dia berkata kepada isterinya: “Aku memintamu bersumpah demi Allah, apakah engkau benci kepadaku?” Ia menjawab, “Jangan memintaku bersumpah demi Allah.” Dia mengatakan, “Aku memintamu bersumpah demi Allah.” Ia menjawab, “Ya.”

Kemudian dia berkata kepada Ibnul Arqam, “Apakah engkau dengar?” Kemudian keduanya bertolak hingga sampai kepada ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu lalu mengatakan, “Kalian mengatakan bahwa aku menzhalimi kaum wanita dan menceraikan mereka. Bertanyalah kepada al-Arqam.” Lalu ‘Umar bertanya kepadanya dan mengabarkannya. Lalu beliau mengirim utusan kepada isteri Ibnu Abi ‘Udzrah (untuk datang kepada ‘Umar). Ia pun datang bersama bibinya, lalu ‘Umar bertanya, “Engkaukah yang bercerita kepada suamimu bahwa engkau marah kepadanya?” Ia menjawab, “Aku adalah orang yang mula-mula bertaubat dan menelaah kembali perintah Allah kepadaku. Ia memintaku bersumpah dan aku takut berdosa bila berdusta, apakah aku boleh berdusta, wahai Amirul Mukminin?” Dia menjawab, “Ya, berdustalah. Jika salah seorang dari kalian tidak menyukai salah seorang dari kami, janganlah menceritakan hal itu kepadanya. Sebab, jarang sekali rumah yang dibangun di atas dasar cinta, tetapi manusia hidup dengan Islam dan mencari pahala”[3]

Kepada setiap muslimah yang memenuhi hak-hak suaminya dan takut terhadap murka Rabb-nya karena dia mengetahui hak suaminya atasnya! Inilah contoh sebagian pria yang mensifati isterinya yang tidak mengetahui hak suaminya dan tidak pula memelihara kebaikannya. Ia tidak mempercantik diri dan tidak berdandan untuknya, serta bermulut kasar. Ia mensifatinya dengan sifat yang membuat hati bergetar dan telinga terngiang-ngiang. Camkanlah sehingga engkau tidak jatuh ke tempat yang menggelincirkan ini.

Tuesday, December 1, 2009

Di Dalam Dunia Yang TIDAK PATUT Ini

2142

“Saya susah hati,” kata Nasir.

“Kenapa?” saya menoleh ke arahnya.

“Bulan depan saya akan menyertai ‘kelab ustaz’!” ujar beliau.

“Kelab Suami Doktor ke?” saya bertanya.

“Ya. Tak lama lagi Insya Allah,” kata Nasir lagi.

“Alhamdulillah. Welcome to the club, akhi!” saya teruja dan menumpang gembira.

Di kalangan rakan yang mengenali, istilah ‘Kelab Suami Doktor’ itu sinonim dengan saya. Hingga ada yang secara lurus bendul mahu mendaftarkan diri dengan organisasi yang hakikatnya hanya gurauan sesama kami sahaja.

Saya menumpang kereta Nasir untuk pulang daripada menjalankan sebuah program latihan siswazah. Perjalanan sejam menuju ibu kota tidak kami sia-siakan kerana walaupun sama-sama tinggal di Kuala Lumpur, peluang berjumpa dan berbual bukan selalu diperolehi.

Satu bentuk usrah barangkali.

“Mengapa susah hati?” saya teringat balik kepada soalan asal Nasir.

“Macam-macam cerita yang saya dengar. Trauma barangkali. Malah sekarang ini pun sudah ketara sibuknya bakal isteri saya,” cerita beliau.

“Oh begitu. Anta pun apa kurangnya. Jurutera atau doktor, sibuknya lebih kurang sahaja” saya cuba mengendurkan persepsi Nasir.

“Selain apa yang ada dalam buku Aku Terima Nikahnya dan Bercinta Sampai ke Syurga, apa yang boleh ustaz nasihatkan saya? Nasihat ringkas dan padat untuk saya pegang” pinta Nasir.

TAHAP TOLERANSI

E13

“Hmm… ana menimbang-nimbang permasalahan yang sampai ke pengetahuan. Rasanya, kebanyakan kita mempunyai tahap toleransi sekadar lima tahun sahaja. Selepas lima tahun, mula berantakan, bermasam muka, tak bertegur sapa, malah membelakangkan semua hasil mahsul Tarbiyah hingga tergamak bermain kayu tiga,” saya memulakan kisah.

“Berat tu, ustaz. Apa penyelesaiannya?” Nasir kelihatan sedikit resah.

“Tidak semudah itu untuk memberi penyelesaian. Tetapi sekurang-kurangnya ustaz boleh cadangkan satu petua penting” saya menambah.

“Apa dia?” beliau bertanya.

“Kurangkan SEPATUTNYA di dalam hidup ini!” saya cuba membuat rumusan yang mudah saya dan Nasir ingat tatkala melayari kehidupan berumahtangga.

Mungkin pelik bunyinya.

Memang SEPATUTNYA adalah sesuatu yang diperlukan untuk kita menetapkan matlamat, tetapi ia juga boleh menjadi racun yang memusnahkan kehidupan berumahtangga tatkala SEPATUTNYA menjadi sesuatu yang dipertahankan melebihi APA YANG PATUT.

“Sepatutnya, awak sebagai isteri kenalah…” ayat ini boleh dituturkan oleh sang suami dari pagi ke pagi.

“Awak sebagai suami, sepatutnya…” balas si isteri pula.

Sukar untuk sebuah rumahtangga berdiri dengan aman apabila terlalu banyak SEPATUTNYA yang diperjuangkan. Jika di dalam Bahasa Inggeris, SEPATUTNYA itu adalah sebuah EXPECTATION. Kita meletakkan banyak jangkaan dan jangkaan itulah yang kemudiannya berubah menjadi kekecewaan.

PEMIKIRAN IDEAL

Semasa mula berumahtangga, dengan pemikiran yang ideal tentang Bait Muslim, kita merancang pelbagai benda.

Misalnya, si isteri bercita-cita untuk si suami menjadi Imam Mithali dalam sebuah rumahtangga. Mengimamkan solat, memberi tazkirah dan membacakan hadith kepadanya setiap hari dan pelbagai impian yang indah lagi sempurna.

Bukan sahaja dalam soal ibadah dan amalan Islam di dalam rumahtangga, si isteri juga mahu suaminya menjadi seorang menantu yang diidam-idamkan oleh ibu bapanya. Menantu yang boleh diharap, yang pandai mengambil hati mertua dan terpercik pujian kepadanya kerana bijak menemukan calon suami yang begitu.

Itulah impiannya.

Impian yang kemudiannya mula memberanakkan pelbagai SEPATUTNYA di sepanjang pelayaran rumahtangga.

Suami pun sama juga.

Beliau mengidamkan sebuah kehidupan yang teratur, tidak perlu lagi bersusah payah ke dapur seperti di alam bujang yang serba kurang. Isteri dikahwini dengan 1001 harapan agar dapat berperanan dengan cemerlang, malah bayangan ibunya sendiri yang bermujahadah membesarkan beliau dan seisi keluarga menjadi kayu ukur untuk menilai pencapaian isteri yang dinikahinya itu.

Harapan.

Tempat kelahiran banyak SEPATUTNYA apabila satu demi satu harapan itu tidak kesampaian.

“Tapi ustaz, bukankah SEPATUTNYA itu perlu supaya kita boleh muhasabah tahap masing-masing?” soal Nasir kepada saya.

“Betul. Namun jika kita bercakap tentang soal survival rumahtangga, SEPATUTNYA itu juga memerlukan muhasabah yang khusus. Periksa balik dari semasa ke semasa, mungkin ada beberapa SEPATUTNYA yang perlu kita uzurkan. Terutamanya suami” saya menambah.

“Misalnya?” Nasir tidak puas hati.

KISAH TELADAN

b0186

“Macam yang anta katakan tadi, anta mengharapkan agar isteri anta menjadi menantu yang baik kepada ibu bapa anta. Namun selepas lima tahun berumahtangga, isteri anta masih tidak mesra dengan mertuanya. Tetapi dia masih seorang isteri yang baik. Bincangkanlah hal ini dengan isteri. Ruang untuk beliau membuat perubahan, memerlukan anta untuk mengundurkan beberapa SEPATUTNYA. Kalau anta masih mahu mempertahankan expectation di awal perkahwinan dahulu, takut-takut yang dikejar tidak dapat ketika yang dikendong berciciran. Reality check, kata orang kampung ana!” saya menyambung lagi.

“Hmm. Takut saya. Ustaz sendiri masa baru-baru kahwin macam mana ustaz amalkan bab SEPATUTNYA ini?” soal beliau.

“Di awal perkahwinan, kami tinggal berjauhan. Ana di Belfast dan isteri di Galway, kemudiannya Letterkenny. SEPATUTNYA selepas kahwin kami dapat bersama sepuas-puasnya, tetapi keadaan tidak mengizinkan. Malah selepas mendapat tahu yang isteri mengandung, SEPATUTNYA ana yang turun ke Galway atau naik ke Letterkenny melawat isteri. Tetapi hujung minggu adalah kemuncak kesibukan ana. Maka Ummu Saif yang turun naik bas pergi ke Belfast dalam keadaan sarat mengandung. Apa nak buat?” saya membuka cerita.

“Tahan ke?” Nasir seakan-akan tidak yakin.

“Kami berkahwin semasa usia lebih kurang anta dan bakal isteri. Tidak sampai seminggu selepas akad nikah, Ummu Saif sudah memulakan rotation beliau sebagai doktor junior yang menjalani tempoh housemanship yang sangat menekan. Kerja separuh mati, balik rumah sudah tidak punya sisa tenaga untuk buat apa-apa. Sebagai suami, ana ada banyak SEPATUTNYA yang boleh ditimbulkan. Tetapi menyedari akan realiti, banyak SEPATUTNYA yang ana buang” saya mengimbau kisah lama.

“Misalnya?” soal Nasir.

“Ana kemas rumah, ana masak dan bawa makanan ke hospital. Dan jika dua-dua sudah terlalu letih untuk balik, kami bermalam sahaja di Doctor Rest yang sempit itu. Esok paginya ana bawa bekas-bekas makanan kotor itu balik ke rumah untuk dibasuh. Cuba untuk bahagia dengan keterbatasan yang ada,” saya berkongsi kisah dengan bakal suami doktor yang seorang ini.

“Sampai bila proses membuang SEPATUTNYA itu perlu dibuat?” Nasir cemas.

“Sampai MATI. Sampai terkambus di liang lahad!” saya menjawab ringkas.

“Suami sahaja?” Nasir gelisah.

3066

PERAWAN MANJA

“Kalau perempuan daripada zaman batu sampai zaman hutan batu mampu bergadai nyawa beranak, beranak dan beranak, mengapa lelaki hari ini yang sudah tidak mengangkat pedang di medan jihad tidak mampu untuk BERJIHAD menjaga rumahtangga? Manja sangatkah perawan akhir zaman sekarang?” saya cuba menyuntik semangat.

“Beratnya jadi suami. Mesti mampu sabar sampai ke mati!” ulas Nasir. Pendek.

“Sabar itu di permulaan sahaja. Insya Allah ia akan naik taraf menjadi redha” saya menokok.

“Susah saya nak bayangkan macam mana suami sabar dan redha sampai ke kubur” Nasir jujur memberitahu.

“Sebab itu ramai anak menjadi pening melayan ibu yang tua selepas kematian ayah!” saya terkenang kisah seorang teman.

“Kenapa?” Nasir tidak faham.

“Hebatnya seorang suami dan ayah, dia mengundurkan banyak SEPATUTNYA hingga dibawa ke kubur. Tolak ansur ayah itu menjadi pakaian yang menghijab kekurangan si isteri yang juga ibu kepada anak-anak mereka berdua. Apabila ayah sudah tiada, barulah kelemahan-kelemahan si ibu muncul menjadi ‘perangai’ yang meletihkan anak-anak. Lepas ayah mati, baru nampak rupa emak yang tidak pernah dilihat sebelum ini.” saya mencukupkan penjelasan.

2_186

“Isteri-isteri kamu itu adalah sebagai pakaian bagi kamu dan kamu pula sebagai pakaian bagi mereka” [al-Baqarah 2: 186]

Suami yang menjadi pakaian isteri itu menyembunyikan kelemahan-kelemahan si isteri dengan penuh sabar dan redha hingga dibawa mati bersama ke kubur, sampai anak tidak nampak kelemahan ibu mereka sepanjang ayah ada bersama. Dia dikebumikan bersama banyak SEPATUTNYA yang dibawa mati tanpa rasa terkilan.

“Inikah maksudnya ERTI HIDUP PADA MEMBERI bagi seorang suami, ustaz?” tanya Nasir.

“Ya. Ia bukan slogan. Tetapi sumber kekuatan diri,” saya menyetujui beliau.

“Dari manakah kekuatan itu mahu dicari?” Nasir melangsaikan pertanyaan.

“Kita hidup dalam dunia yang penuh dengan benda yang TIDAK PATUT. Jadi berpada-padalah pada melayan SEPATUTNYA yang banyak hinggap ke diri. Hidup memberi itu mustahil boleh dibuat-buat, sehinggalah kita berjaya untuk benar-benar percaya, bahawa kita hanyalah HAMBA kepada-Nya. Hamba tidak layak meminta-minta dan meletakkan pelbagai standard atau jangkaan hidup. Fokuskan kepada peranan, dan syukuri setiap yang diterima, biar sekecil mana pun ia” saya selesai berkongsi pandangan.

“Ustaz rasa saya mampu?” Nasir menoleh ke arah saya.

“Berikan ilmu kepada akal supaya tahu. Suntikkan iman ke hati supaya mahu. Berjihadlah menundukkan nafsu supaya mampu. Insya Allah!” saya tersenyum.

Kami sama-sama sepi.

Merenung hutan belantara yang luas terbentang di kiri dan kanan lebuh raya. Hutan tebal yang menyembunyikan 1001 isi dan rahsia, seperti sebuah perjalanan rumahtangga yang tidak diketahui akan rupa kembaranya di hari-hari muka.

Selamat berumahtangga, Nasir.

ABU SAIF @ www.saifulislam.com
68000 AMPANG