Monday, December 21, 2009

UMMU RUMAN SEORANG BIDADARI SURGA

Wanita ini bernama Zainab atau biasa disebut Di’din. Tapi ia lebih sering dipanggil dengan laqab (nama panggilan) Ummu Ruman. Wanita ini anak perempuan dari Amir bin Uwaimir bin Abdullah Syams bin ‘Iqab. Nasabnya berakhir di Kinanah.

Ummu Ruman tinggal di wilayah yang bernama As-Sirat, yaitu sebuah dataran berkontur pegunungan dan berbukitan di Jazirah Arabia. Ketika sampai usia akil balig, ia dinikahkan dengan pemuda sedesanya yang bernama Harits bin Sakhbarah bin Jurtsumah Al-Kaher. Dari pernikahan ini lahirlah seorang putra yang diberi nama Ath-Thufail.

Kemudian Ummu Ruman dan anaknya, Ath-Thufail, dibawa Harits pindah ke Makkah. Di Makkah, keluarga kecil ini tinggal dan mendapat perlindungan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. Sayang, Harits tidak dikarunia Allah swt. dengan umur panjang. Ia meninggal setelah setahun tinggal di Makkah. Abu Bakar kemudian menikahi Ummu Ruman dan merawat Ath-Thufail. Ummu Ruman pun menjadi istri kedua Abu Bakar.

Dari istri pertamanya, Abu Bakar memiliki dua orang anak, yaitu Asma dan Abdullah. Dari pernikahan dengan Ummu Ruman, Abu Bakar pun mendapat dua orang anak, yaitu Aisyah dan Abdurrahman. Selisih usia Asma dan Aisyah sepuluh tahun. Ummu Ruman menyatukan Ath-Thufail, Asma, Abdullah, Aisyah, dan Abdurrahman dalam asuhannya.

Ummu Ruman masuk Islam ketika Abu Bakar masuk Islam. Jadi, ia termasuk salah satu as-sabiqunal awwalun (kelompok pertama yang masuk Islam). Seluruh anak-anaknya mengikuti jejaknya masuk Islam, kecuali Abdurrahman. Dengan begitu, rumah Ummu Ruman adalah rumah kedua yang berada dalam naungan Islam setelah rumah Rasulullah saw.

Berbagai macam siksaan yang dilakukan kafir Quraisy kepada kaum muslimin di Makkah juga menimpa diri Ummu Ruman. Apalagi ia aktif bahu-membahu dengan suaminya, Abu Bakar, menyelamatkan orang-orang yang telah memeluk Islam ketika itu dari gangguan kafir Quraisy.

Sebagai ibu, Ummu Ruman sangat disiplin dan berhasil mendidik anak-anaknya. Sebagai seorang istri, ia sangat menghormati hak-hak suaminya. Dan, ia adalah seorang wanita yang menepati janji lagi bijak bestari. Sifat-sifat mulia itu terekam dalam peristiwa Rasulullah saw. meminang Aisyah.

Muhammad bin Amr menceritakan kepada kami. Ia berkata, Abu Salamah dan Yahya menceritakan kepada kami, ketika Khadijah telah meninggal dunia, Khaulah binti Hakim –istri Utsman bin Mazh’un—datang menemui Rasulullah saw. dan berkata, “Ya Rasulullah, tidakkah engkau menikah lagi?” Beliau berkata, “Dengan siapa?” Khaulah berkata, “Apabila engkau mau, engkau dapat menikahi seorang gadis, atau seorang janda.” Beliau bertanya, “Siapakah gadis tersebut?” Khaulah menjawab, “Putri hamba Allah Azza wa Jalla yang paling engkau cintai di muka bumi, Aisyah binti Abu Bakar.” Beliau bertanya lagi, “Lalu siapakah janda tersebut?” Khaulah menjawab, “Saudah binti Zam’ah. Ia telah beriman kepadamu dan mengikuti segala yang engkau ucapkan.” Rasulullah berkata, “Kalau begitu pergilah kepada keduanya, dan sebutkan namaku kepada mereka.”

Khaulah kemudian datang ke rumah Abu Bakar, dan ketika masuk ia berkata, “Wahai Ummu Ruman, kebaikan dan keberkahan apakah yang dicurahkan Allah Azza wa Jalla kepada kalian?” Ummu Ruman bertanya, “Apakah itu?” Khaulah menjawab, “Rasulullah saw. mengutusku meminang Aisyah untuk beliau.” Ummu Ruman berkata, “Kalau begitu, tunggulah sampai Abu Bakar pulang.”

Setelah Abu Bakar tiba, Khaulah menyampaikan maksud Rasulullah saw. Setelah mendengan kabar itu, Abu Bakar berkata, “Tunggu sebentar.” Abu Bakar pun keluar rumah. Ummu Ruman berkata kepada Khaulah, “Sesungguhnya Muth’im bin Ady pernah menyebutkan nama Aisyah di hadapan putranya, dan demi Allah, Abu Bakar tidak pernah menjanjikan sesuatu lalu melanggarnya.”

Abu Bakar pergi menemui Muth’im bin Ady. Ternyata Muth’im menarik kembali ucapannya karena khawatir anaknya masuk Islam. Setelah itu, Abu Bakar berkata kepada Khaulah, “Panggillah Rasulullah saw. kemari.” Khaulah pun pergi menjemput Rasulullah saw. Tak lama kemudian Abu Bakar menikahkan Rasulullah saw. dengan putrinya, Aisyah.

Tak lama setelah pernikahan itu, Rasulullah saw. mendapat perintah untuk berhijrah. Abu Bakar diminta Rasulullah saw. mendampingi. Abu Bakar segera menyampaikan hal itu kepada isterinya, Ummu Ruman. Berita itu tidak membuat Ummu Ruman takut, meski ia harus tetap tinggal di Makkah bersama dengan anak-anaknya di bawah ancaman mara bahaya yang mungkin terjadi. Ummu Ruman justru berkata, “Sesungguhnya keluarga Rasulullah saw. harus menjadi teladan kita.”

Setelah Abu Bakar berangkat mendampingi Rasulullah saw. menuju Madinah, Ummu Ruman tetap melakukan tugas dan perannya seperti biasa. Tak lama kemudian ia menyusul hijrah ke Madinah bersama keluarganya dan keluarga Rasulullah saw., Fathimah, Ummu Kaltsum, Saudah, Zaid bin Haritsah, Abu Rafi’, hamba sahaya Rasulullah saw., Abdullah bin Ariqazh yang diutus Nabi untuk membawa mereka semua ke Madinah. Thalhah bin Abdullah pun turut serta dalam kafilah ini.

Ketika tiba di Madinah, Ummu Ruman berkata kepada suaminya, “Wahai Abu Bakar, tidakkah engkau mengingatkan Rasulullah saw. tentang perkara Aisyah?” Maka Abu Bakar segera berangkat menemui Rasulullah saw. dan berkata kepadanya, “Tidakkah engkau ingin menggauli keluargamu, ya Rasulullah?”
Kisah selanjutnya Aisyah sendiri yang menceritakannya. Aisyah r.a. berkata, “Kami kemudian pergi ke Madinah dan tinggal di kediaman Bani Harits bin Khazraj, ketika itu saya tidak enak badan dan rambut pun rontok. Ibuku –Ummu Ruman—kemudian mendatangiku yang ketika itu aku berada di sebuah ayunan bersama teman-temanku. Ia kemudian memanggilku. Aku pun mendatanginya meski tidak tahu apa yang ia inginkan dariku.

Ia kemudian memegang tanganku dan menghadangku di pintu rumah, hingga aku mulai merasa tidak tenang. Ia kemudian mengambil sesuatu dari air dan mengusapkannya pada wajah dan kepalaku. Ia kemudian memasukkanku ke sebuah rumah yang sudah dipenuhi wanita-wanita Anshar. Mereka berkata, ‘Dengan segala kebaikan dan keberkahan, dan rezeki yang baik.’ Ia kemudian menyerahkanku kepada mereka dan segera mendandaniku, dan hal ini tidak membuatku merasa takut kecuali kedatangan Rasulullah saw. Mereka kemudian menyerahkanku kepada beliau.” (HR. Bukhari)

Hubungan Rasulullah saw. dan Aisyah mendapat cobaan yang begitu dahsyat. Peristiwa ini juga berat dirasakan oleh Ummu Ruman, ibu Aisyah. Pada tahun keenam Hijriah, kaum munafikin menghembuskan fitnah yang menyerang kehormatan dan kemuliaan Aisyah. Ketika pulang dari memerangi Bani Musthaliq, Aisyah tertinggal rombongan Rasulullah saw. Ada seorang sahabat menemukan Aisyah dan mengantar pulang ke Madinah.

Sesampai di Madinah Aisyah sakit. Ia meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk dirawat di rumah ibunya, Ummu Ruman. Ketika itu sebenarnya sang ibu telah mendengar fitnah yang dihembuskan oleh kaum munafikin terhadap kesucian Aisyah. Ia berusaha menyembunyikan kabar itu dari anaknya.

Dari Masruq bin Ajda’ berkata, Ummu Ruman menceritakan kepadaku seraya berkata, ‘Ketika kami sedang duduk bersama Aisyah, tiba-tiba masuk seorang wanita Anshar dan berkata, “Semoga Allah melakukan yang demikian terhadap fulan!” Ummu Ruman kemudian berkata, “Siapakah orang itu?”

Wanita tersebut berkata, “Ia adalah putraku yang menceritakan desas-desus itu.” Ummu Ruman bertanya, “Apakah desas-desus tersebut.” Wanita itu pun menceritakan isu yang merebak di tengah kota berupa tuduhan terhadap Aisyah r.a. Aisyah kemudian berkata, “Apakah Rasulullah saw. telah mendengar berita tersebut?” Ia berkata, “Ya.” Ia bertanya, “Dan Abu Bakar?” Wanita itu menjawab, “Ya.” Mendengar itu, Aisyah pun jatuh pingsan.

Ketika sadar, Aisyah menemukan dirinya didera demam yang sangat tinggi. Saya –Ummu Ruman—lalu menghamparkan pakaiannya untuk menutupi tubuhnya.”

Tak lama kemudian Rasulullah saw. datang dan bertanya, “Bagaimana kondisi orang ini?” Ummu Ruman menjawab, “Ya Rasulullah , dia didera demam yang sangat tinggi.” Beliau berkata, “Mungkin saja karena desas-desus yang terkait dengan dirinya.” Ummu Ruman menjawab, “Ya.”

Aisyah kemudian duduk dan berkata kepada Rasulullah saw., “Kalaupun aku bersumpah, engkau tidak akan mempercayaiku. Dan bila aku mengatakannya, niscaya engkau tidak akan memaafkanku. Perumpamaan diriku dan dirimu bagaikan Ya’qub dan anak-anaknya yang berkata, ‘Dan Allah Maha Penolong atas apa yang kalian ceritakan.’”

Ummu Ruman berkata, “Beliau kemudian keluar dan tidak mengatakan apapun hingga Allah menurunkan firmanNya tentang kesucian Aisyah. Aisyah kemudian berkata, ‘Segala puji hanya untuk Allah semata, dan bukan pujian untuk seorang pun, juga tidak untuk dirimu.” (HR. Bukhari dalam Kitab Maghazi, hadits nomor 3828).

Setelah peristiwa itu, di tahun keenam Hijriah itu juga, Ummu Ruman wafat karena sakit yang dideritanya. Rasulullah saw. ikut turun ke dalam kuburannya dan berdoa di sana. Beliau berkata, “Barangsiapa yang ingin melihat wanita bidadari surga, hendaklah melihat Ummu Ruman.”

Wednesday, December 16, 2009

Nota Seorang Isteri

Nabi s.a.w bersabda yang bermaksud:

“Sebaik-baik kamu adalah kamu yang terbaik kepada keluarganya, dan aku adalah orang yang paling berbuat baik untuk keluargaku!”
(Hadith Riwayat Tirmidzi)

Berbuat baiklah kepada setiap insan dan sesama manusia tidak kiralah siapa kita dan ianya sepatutnya dilatih seawal peringkat institusi keluarga lagi. Di dalam setiap kualiti yang boleh diukur pada jati diri seorang muslim, manusia yang dianggap terbaik oleh seorang Nabi, utusan Allah, adalah manusia mukmin yang berlaku baik kepada keluarganya.

Kebaikan adalah lawan setiap kejahatan, keburukan, atau kekurangan. Baik dalam erti kata sabar, ikhlas dan redha dalam menangani segala masalah atau dugaan yang mendatang dalam melayari kehidupan yang fana ini.

Setiap perkara yang terjadi di dalam kehidupan ini adalah atas ketentuan-Nya bagi menguji kesabaran dan keikhlasan kita kepada tujuan hidup utama sebelum mati. Mati bererti berhenti, berhenti dari menikmati dan mengecapi kehidupan sebagai hamba-Nya yang sentiasa diuji.

Manusia yang sekeras batu pun hatinya, pasti akan lentur lembut dengan kebaikan. Batu yang mengalir padanya air walaupun setitis demi setitis akan terhakis sedikit demi sedikit sifat kerasnya. Jangan batu dibalas batu, nanti berkecai jadinya. Sebaliknya yang harus ada adalah sifat sabar.

Isteri dan anak adalah amanah yang harus dipelihara dengan baik. Kesilapan dan kekurangan mereka hendaklah dipantau. Hubungan yang kukuh di antara imam dan makmum membolehkan proses membetulkan antara satu sama lain dilakukan dengan baik oleh imam. Begitulah perihalnya dengan bapa atau suami dengan isteri dan anaknya.

Mulakan kewajipan membetul itu dengan membina hubungan terlebih dahulu. Sebagaimana jemaah menolak untuk dipimpin oleh imam yang dibenci, begitu jugalah isteri dan anak akan menolak nasihat dari seorang lelaki ‘asing’ bernama suami dan ayah.

PERANAN SUAMI DAN ISTERI

Tugas mendidik, mengurus rumahtangga, dan menyiapkan rohani anak-anak bukan sahaja terletak pada bahu si isteri sahaja, tetapi suami yang lebih daya kekuatan berbanding perempuan. Ramai lelaki terlepas pandang perkara ini kerana alasan sibuk.

Bila kita tengok zaman sebelum 70-an atau 80-an, memang kebanyakan wanita adalah suri rumah sepenuh masa. Kaum lelaki merupakan satu-satunya sumber kewangan keluarga. Masa itu mungkin susah benar untuk kita hendak mendengar suami menolong membuat kerja rumah apatah lagi untuk ke dapur.

Namun keadaan telah berubah di atas faktor pendidikan, sosio-ekonomi dan politik, wanita telah terjun ke bidang pekerjaan masing-masing. Malah ada di antara mereka yang menerajui sumber kewangan keluarga. Namun begitu, wanita tetap setia dengan kerja rumah dan dapur. Para suami masih lagi dianggap sebagai membantu isteri di rumah dan bukannya isteri yang membantu suami.

Adakah memang fitrah wanita itu dijadikan untuk menguruskan rumah, memasak, menyidai kain dan sebagainya? Manakala lelaki pula hanya diciptakan untuk bekerja atau cari nafkah keluarga semata-mata?

Dari zaman Nabawiyah lagi wanita sudah menjadi usahawan yang berjaya, berperang bersama lelaki di medan perang dan menjadi ahli ilmu dan periwayat hadith. Oleh itu, tidak tepat untuk mengatakan kaum Hawa telah berevolusi untuk mampu melakukan apa yang tidak mampu dilakukan sebelum ini. Soal kemampuan dan pencapaian wanita dalam masyarakat harus dilihat dan dibincangkan berdasarkan latar masa dan sejarah masyarakat ketika itu.

Dalam konteks di Malaysia, bukankah dari dulu lagi lelaki dan wanita sudah bekerja bersama-sama di sawah padi dan bendang. Ibu-ibu juga menjadi pendidik dengan mengajar anak-anak agama dan mengaji. Semua ini sesuai dengan keadaan sosio-ekonomi masyarakat waktu dahulu berdasarkan pertanian dan unit-unit sosial yang tertumpu di kampung dan luar bandar.

Tidak timbul polemik pada zaman itu tentang wanita yang merasakan hidup mereka ditekan dan peluang untuk mengembangkan potensi diri mereka disekat. Struktur sosial yang sedia ada cukup mencapai tujuan sosial dan permintaan ekonomi waktu itu.

Zaman telah berubah, dan wanita hari ini memainkan peranan yang berbeza dalam sebuah negara yang demokratik dan mengamalkan sistem ekonomi kapitalis. Seharusnya tidak timbul masalah tentang penyertaan wanita dalam kemajuan masyarakat kerana hak-hak mereka dalam pendidikan, pemilikan harta dan hak di sisi undang-undang semuanya dijamin dan dipertahankan oleh Islam.

Masalah dan polemik yang timbul selalunya berkisar tentang sejauh mana penyertaan wanita dalam ekonomi memberi kesan kepada keluarga dan anak-anak, bagaimana wanita membahagikan masa antara kerjaya dan anak-anak di rumah, dan sebagainya. Terpulang kepada wanita itu untuk mencari jawapan kepada persoalan-persoalan ini.

Sunday, December 6, 2009

Pesan-pesan untuk isteri

Artikel di bawah adalah dicopy dan dipaste. Kesabaran dan ketelitian amat penting untuk memahaminya kerana ditulis dalam bahasa indon. Selamat membaca.

Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

Anas berkata, “Para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika menyerahkan seorang wanita kepada suaminya, maka mereka memerintahkan isteri agar berkhidmat kepada suaminya dan memelihara haknya.”

Ummu Humaid berkata, “Para wanita Madinah, jika hendak menyerahkan seorang wanita kepada suaminya, pertama-tama mereka datang kepada ‘Aisyah dan memasukkannya di hadapannya, lalu dia meletakkan tangannya di atas kepalanya seraya mendo’akannya dan memerintahkannya agar bertakwa kepada Allah serta memenuhi hak suami”[1]

‘Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib berwasiat kepada puterinya, “Janganlah engkau cemburu, sebab itu adalah kunci perceraian, dan janganlah engkau suka mencela, karena hal itu menimbulkan kemurkaan. Bercelaklah, karena hal itu adalah perhiasan paling indah, dan farfum yang paling baik adalah air.”

Abud Darda' berkata kepada isterinya, “Jika engkau melihatku marah, maka redakanlah kemarahanku. Jika aku melihatmu marah kepadaku, maka aku meredakanmu. Jika tidak, kita tidak harmonis.”

Ambillah pemaafan dariku, maka engkau melanggengkan cintaku.
Janganlah engkau berbicara dengan keras sepertiku, ketika aku sedang marah
Janganlah menabuhku (untuk memancing kemarahan) seperti engkau menabuh rebana, sekalipun
Sebab, engkau tidak tahu bagaimana orang yang ditinggal pergi

Janganlah banyak mengeluh sehingga melenyapkan dayaku
Lalu hatiku enggan terhadapmu; sebab hati itu berbolak-balik

Sesungguhnya aku melihat cinta dan kebencian dalam hati
Jika keduanya berhimpun, maka cinta pasti akan pergi

‘Amr bin Hajar, Raja Kindah, meminang Ummu Ayyas binti ‘Auf. Ketika dia akan dibawa kepada suaminya, ibunya, Umamah binti al-Haris menemui puterinya lalu berpesan kepadanya dengan suatu pesan yang menjelaskan dasar-dasar kehidupan yang bahagia dan kewajibannya kepada suaminya yang patut menjadi undang-undang bagi semua wanita. Ia berpesan:

“Wahai puteriku, engkau berpisah dengan suasana yang darinya engkau keluar, dan engkau beralih pada kehidupan yang di dalamnya engkau naik untuk orang yang lalai dan membantu orang yang berakal. Seandainya wanita tidak membutuhkan suami karena kedua orang tuanya masih cukup dan keduanya sangat membutuhkanya, niscaya akulah orang yang paling tidak membutuhkannya. Tetapi kaum wanita diciptakan untuk laki-laki, dan karena mereka pula laki-laki diciptakan.

Wahai puteriku, sesungguhnya engkau berpisah dengan suasana yang darinya engkau keluar dan engkau berganti kehidupan, di dalamnya engkau naik kepada keluarga yang belum engkau kenal dan teman yang engkau belum terbiasa dengannya. Ia dengan kekuasaannya menjadi pengawas dan raja atasmu, maka jadilah engkau sebagai abdi, niscaya ia menjadi abdimu pula. Peliharalah untuknya 10 perkara, niscaya ini akan menjadi kekayaan bagimu.

Pertama dan kedua, tunduk kepadanya dengan qana’ah (merasa cukup), serta mendengar dan patuh kepadanya.

Ketiga dan keempat, memperhatikan mata dan hidungnya. Jangan sampai matanya melihat suatu keburukan darimu, dan jangan sampai mencium darimu kecuali aroma yang paling harum.

Kelima dan keenam, memperhatikan tidur dan makannya. Karena terlambat makan akan bergejolak dan menggagalkan tidur itu membuat orang marah.

Ketujuh dan kedelapan, menjaga hartanya dan memelihara keluarga dan kerabatnya. Inti perkara berkenaan dengan harta ialah menghargainya dengan baik, sedangkan berkenaan dengan keluarga ialah mengaturnya dengan baik.

Kesembilan dan kesepuluh, jangan menentang perintahnya dan jangan menyebarkan rahasianya. Karena jika engkau menyelisihi perintahnya, maka hatinya menjadi kesal dan jika engkau menyebarkan rahasianya, maka engkau tidak merasa aman terhadap pengkhianatannya. Kemudian janganlah engkau bergembira di hadapannya ketika dia bersedih, dan jangan pula bersedih di hadapannya ketika dia bergembira”[2]

Seseorang menikahkan puterinya dengan keponakannya. Ketika ia hendak membawanya, maka dia berkata kepada ibunya, “Perintahkan kepada puterimu agar tidak singgah di kediaman (suaminya) melainkan dalam keadaan telah mandi. Sebab, air itu dapat mencemerlangkan bagian atas dan membersihkan bagian bawah. Dan janganlah ia terlalu sering mencumbuinya. Sebab jika badan lelah, maka hati menjadi lelah. Jangan pula menghalangi syahwatnya, sebab keharmonisan itu terletak dalam kesesuaian.

Ketika al-Farafishah bin al-Ahash membawa puterinya, Nailah, kepada Amirul Mukminin ‘Utsman bin ‘Affan Radhitallahu ‘anhu, dan beliau telah menikahinya, maka ayahnya menasihatinya dengan ucapannya, “Wahai puteriku, engkau didahulukan atas para wanita dari kaum wanita Quraisy yang lebih mampu untuk berdandan darimu, maka peliharalah dariku dua hal ini : bercelaklah dan mandilah, sehingga aromamu adalah aroma bejana yang terguyur hujan.”

Abul Aswad berkata kepada puterinya, “Jangalah engkau cemburu, sebab kecemburuan itu adalah kunci perceraian. Berhiaslah, dan sebaik-baik perhiasan ialah celak. Pakailah wewangian, dan sebaik-baik wewangian ialah menyempurnakan wudhu.’”

Ummu Ma’ashirah menasihati puterinya dengan nasihat berikut ini yang telah diramunya dengan senyum dan air matanya: “Wahai puteriku, engkau akan memulai kehidupan yang baru… Suatu kehidupan yang tiada tempat di dalamnya untuk ibumu, ayahmu, atau untuk seorang pun dari saudaramu. Engkau akan menjadi teman bagi seorang pria yang tidak ingin ada seorangpun yang menyekutuinya berkenaan denganmu hingga walaupun ia berasal dari daging dan darahmu. Jadilah engkau sebagai isteri, wahai puteriku, dan jadilah engkau sebagai ibu baginya. Jadikanlah ia merasa bahwa engkau adalah segalanya dalam kehidupannya dan segalanya dalam dunianya. Ingatlah selalu bahwa suami itu anak-anak yang besar, jarang sekali kata-kata manis yang membahagiakannya. Jangan engkau menjadikannya merasa bahwa dengan dia menikahimu, ia telah menghalangimu dari keluargamu.

Perasaan ini sendiri juga dirasakan olehnya. Sebab, dia juga telah meninggalkan rumah kedua orang tuanya dan meninggalkan keluarganya karenamu. Tetapi perbedaan antara dirimu dengannya ialah perbedaan antara wanita dan laki-laki. Wanita selalu rindu kepada keluarganya, kepada rumahnya di mana dia dilahirkan, tumbuh menjadi besar dan belajar. Tetapi dia harus membiasakan dirinya dalam kehidupan yang baru ini. Ia harus mencari hakikat hidupnya bersama pria yang telah menjadi suami dan ayah bagi anak-anaknya. Inilah duniamu yang baru, wahai puteriku. Inilah masa kini dan masa depanmu. Inilah mahligaimu, di mana kalian berdua bersama-sama menciptakannya.

Adapun kedua orang tuamu adalah masa lalu. Aku tidak memintamu melupakan ayah dan ibumu serta saudara-saudaramu, karena mereka tidak akan melupakanmu selama-lamanya. Wahai sayangku, bagaimana mungkin ibu akan lupa belahan hatinya? Tetapi aku meminta kepadamu agar engkau mencintai suamimu, mendampingi suamimu, dan engkau bahagia dengan kehidupanmu bersamanya.”

Diriwayatkan bahwa Ibnu Abi ‘Udzr ad-Du'ali -pada hari-hari pemerintahan ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu- menceraikan wanita-wanita yang dinikahinya. Sehingga muncullah kepadanya beberapa peristiwa yang tidak disukainya berkenaan dengan para wanita tersebut dari hal itu. Ketika dia mengetahui hal itu, maka dia memegang tangan ‘Abdullah bin al-Arqam sehingga membawanya ke rumahnya. Kemudian dia berkata kepada isterinya: “Aku memintamu bersumpah demi Allah, apakah engkau benci kepadaku?” Ia menjawab, “Jangan memintaku bersumpah demi Allah.” Dia mengatakan, “Aku memintamu bersumpah demi Allah.” Ia menjawab, “Ya.”

Kemudian dia berkata kepada Ibnul Arqam, “Apakah engkau dengar?” Kemudian keduanya bertolak hingga sampai kepada ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu lalu mengatakan, “Kalian mengatakan bahwa aku menzhalimi kaum wanita dan menceraikan mereka. Bertanyalah kepada al-Arqam.” Lalu ‘Umar bertanya kepadanya dan mengabarkannya. Lalu beliau mengirim utusan kepada isteri Ibnu Abi ‘Udzrah (untuk datang kepada ‘Umar). Ia pun datang bersama bibinya, lalu ‘Umar bertanya, “Engkaukah yang bercerita kepada suamimu bahwa engkau marah kepadanya?” Ia menjawab, “Aku adalah orang yang mula-mula bertaubat dan menelaah kembali perintah Allah kepadaku. Ia memintaku bersumpah dan aku takut berdosa bila berdusta, apakah aku boleh berdusta, wahai Amirul Mukminin?” Dia menjawab, “Ya, berdustalah. Jika salah seorang dari kalian tidak menyukai salah seorang dari kami, janganlah menceritakan hal itu kepadanya. Sebab, jarang sekali rumah yang dibangun di atas dasar cinta, tetapi manusia hidup dengan Islam dan mencari pahala”[3]

Kepada setiap muslimah yang memenuhi hak-hak suaminya dan takut terhadap murka Rabb-nya karena dia mengetahui hak suaminya atasnya! Inilah contoh sebagian pria yang mensifati isterinya yang tidak mengetahui hak suaminya dan tidak pula memelihara kebaikannya. Ia tidak mempercantik diri dan tidak berdandan untuknya, serta bermulut kasar. Ia mensifatinya dengan sifat yang membuat hati bergetar dan telinga terngiang-ngiang. Camkanlah sehingga engkau tidak jatuh ke tempat yang menggelincirkan ini.

Tuesday, December 1, 2009

Di Dalam Dunia Yang TIDAK PATUT Ini

2142

“Saya susah hati,” kata Nasir.

“Kenapa?” saya menoleh ke arahnya.

“Bulan depan saya akan menyertai ‘kelab ustaz’!” ujar beliau.

“Kelab Suami Doktor ke?” saya bertanya.

“Ya. Tak lama lagi Insya Allah,” kata Nasir lagi.

“Alhamdulillah. Welcome to the club, akhi!” saya teruja dan menumpang gembira.

Di kalangan rakan yang mengenali, istilah ‘Kelab Suami Doktor’ itu sinonim dengan saya. Hingga ada yang secara lurus bendul mahu mendaftarkan diri dengan organisasi yang hakikatnya hanya gurauan sesama kami sahaja.

Saya menumpang kereta Nasir untuk pulang daripada menjalankan sebuah program latihan siswazah. Perjalanan sejam menuju ibu kota tidak kami sia-siakan kerana walaupun sama-sama tinggal di Kuala Lumpur, peluang berjumpa dan berbual bukan selalu diperolehi.

Satu bentuk usrah barangkali.

“Mengapa susah hati?” saya teringat balik kepada soalan asal Nasir.

“Macam-macam cerita yang saya dengar. Trauma barangkali. Malah sekarang ini pun sudah ketara sibuknya bakal isteri saya,” cerita beliau.

“Oh begitu. Anta pun apa kurangnya. Jurutera atau doktor, sibuknya lebih kurang sahaja” saya cuba mengendurkan persepsi Nasir.

“Selain apa yang ada dalam buku Aku Terima Nikahnya dan Bercinta Sampai ke Syurga, apa yang boleh ustaz nasihatkan saya? Nasihat ringkas dan padat untuk saya pegang” pinta Nasir.

TAHAP TOLERANSI

E13

“Hmm… ana menimbang-nimbang permasalahan yang sampai ke pengetahuan. Rasanya, kebanyakan kita mempunyai tahap toleransi sekadar lima tahun sahaja. Selepas lima tahun, mula berantakan, bermasam muka, tak bertegur sapa, malah membelakangkan semua hasil mahsul Tarbiyah hingga tergamak bermain kayu tiga,” saya memulakan kisah.

“Berat tu, ustaz. Apa penyelesaiannya?” Nasir kelihatan sedikit resah.

“Tidak semudah itu untuk memberi penyelesaian. Tetapi sekurang-kurangnya ustaz boleh cadangkan satu petua penting” saya menambah.

“Apa dia?” beliau bertanya.

“Kurangkan SEPATUTNYA di dalam hidup ini!” saya cuba membuat rumusan yang mudah saya dan Nasir ingat tatkala melayari kehidupan berumahtangga.

Mungkin pelik bunyinya.

Memang SEPATUTNYA adalah sesuatu yang diperlukan untuk kita menetapkan matlamat, tetapi ia juga boleh menjadi racun yang memusnahkan kehidupan berumahtangga tatkala SEPATUTNYA menjadi sesuatu yang dipertahankan melebihi APA YANG PATUT.

“Sepatutnya, awak sebagai isteri kenalah…” ayat ini boleh dituturkan oleh sang suami dari pagi ke pagi.

“Awak sebagai suami, sepatutnya…” balas si isteri pula.

Sukar untuk sebuah rumahtangga berdiri dengan aman apabila terlalu banyak SEPATUTNYA yang diperjuangkan. Jika di dalam Bahasa Inggeris, SEPATUTNYA itu adalah sebuah EXPECTATION. Kita meletakkan banyak jangkaan dan jangkaan itulah yang kemudiannya berubah menjadi kekecewaan.

PEMIKIRAN IDEAL

Semasa mula berumahtangga, dengan pemikiran yang ideal tentang Bait Muslim, kita merancang pelbagai benda.

Misalnya, si isteri bercita-cita untuk si suami menjadi Imam Mithali dalam sebuah rumahtangga. Mengimamkan solat, memberi tazkirah dan membacakan hadith kepadanya setiap hari dan pelbagai impian yang indah lagi sempurna.

Bukan sahaja dalam soal ibadah dan amalan Islam di dalam rumahtangga, si isteri juga mahu suaminya menjadi seorang menantu yang diidam-idamkan oleh ibu bapanya. Menantu yang boleh diharap, yang pandai mengambil hati mertua dan terpercik pujian kepadanya kerana bijak menemukan calon suami yang begitu.

Itulah impiannya.

Impian yang kemudiannya mula memberanakkan pelbagai SEPATUTNYA di sepanjang pelayaran rumahtangga.

Suami pun sama juga.

Beliau mengidamkan sebuah kehidupan yang teratur, tidak perlu lagi bersusah payah ke dapur seperti di alam bujang yang serba kurang. Isteri dikahwini dengan 1001 harapan agar dapat berperanan dengan cemerlang, malah bayangan ibunya sendiri yang bermujahadah membesarkan beliau dan seisi keluarga menjadi kayu ukur untuk menilai pencapaian isteri yang dinikahinya itu.

Harapan.

Tempat kelahiran banyak SEPATUTNYA apabila satu demi satu harapan itu tidak kesampaian.

“Tapi ustaz, bukankah SEPATUTNYA itu perlu supaya kita boleh muhasabah tahap masing-masing?” soal Nasir kepada saya.

“Betul. Namun jika kita bercakap tentang soal survival rumahtangga, SEPATUTNYA itu juga memerlukan muhasabah yang khusus. Periksa balik dari semasa ke semasa, mungkin ada beberapa SEPATUTNYA yang perlu kita uzurkan. Terutamanya suami” saya menambah.

“Misalnya?” Nasir tidak puas hati.

KISAH TELADAN

b0186

“Macam yang anta katakan tadi, anta mengharapkan agar isteri anta menjadi menantu yang baik kepada ibu bapa anta. Namun selepas lima tahun berumahtangga, isteri anta masih tidak mesra dengan mertuanya. Tetapi dia masih seorang isteri yang baik. Bincangkanlah hal ini dengan isteri. Ruang untuk beliau membuat perubahan, memerlukan anta untuk mengundurkan beberapa SEPATUTNYA. Kalau anta masih mahu mempertahankan expectation di awal perkahwinan dahulu, takut-takut yang dikejar tidak dapat ketika yang dikendong berciciran. Reality check, kata orang kampung ana!” saya menyambung lagi.

“Hmm. Takut saya. Ustaz sendiri masa baru-baru kahwin macam mana ustaz amalkan bab SEPATUTNYA ini?” soal beliau.

“Di awal perkahwinan, kami tinggal berjauhan. Ana di Belfast dan isteri di Galway, kemudiannya Letterkenny. SEPATUTNYA selepas kahwin kami dapat bersama sepuas-puasnya, tetapi keadaan tidak mengizinkan. Malah selepas mendapat tahu yang isteri mengandung, SEPATUTNYA ana yang turun ke Galway atau naik ke Letterkenny melawat isteri. Tetapi hujung minggu adalah kemuncak kesibukan ana. Maka Ummu Saif yang turun naik bas pergi ke Belfast dalam keadaan sarat mengandung. Apa nak buat?” saya membuka cerita.

“Tahan ke?” Nasir seakan-akan tidak yakin.

“Kami berkahwin semasa usia lebih kurang anta dan bakal isteri. Tidak sampai seminggu selepas akad nikah, Ummu Saif sudah memulakan rotation beliau sebagai doktor junior yang menjalani tempoh housemanship yang sangat menekan. Kerja separuh mati, balik rumah sudah tidak punya sisa tenaga untuk buat apa-apa. Sebagai suami, ana ada banyak SEPATUTNYA yang boleh ditimbulkan. Tetapi menyedari akan realiti, banyak SEPATUTNYA yang ana buang” saya mengimbau kisah lama.

“Misalnya?” soal Nasir.

“Ana kemas rumah, ana masak dan bawa makanan ke hospital. Dan jika dua-dua sudah terlalu letih untuk balik, kami bermalam sahaja di Doctor Rest yang sempit itu. Esok paginya ana bawa bekas-bekas makanan kotor itu balik ke rumah untuk dibasuh. Cuba untuk bahagia dengan keterbatasan yang ada,” saya berkongsi kisah dengan bakal suami doktor yang seorang ini.

“Sampai bila proses membuang SEPATUTNYA itu perlu dibuat?” Nasir cemas.

“Sampai MATI. Sampai terkambus di liang lahad!” saya menjawab ringkas.

“Suami sahaja?” Nasir gelisah.

3066

PERAWAN MANJA

“Kalau perempuan daripada zaman batu sampai zaman hutan batu mampu bergadai nyawa beranak, beranak dan beranak, mengapa lelaki hari ini yang sudah tidak mengangkat pedang di medan jihad tidak mampu untuk BERJIHAD menjaga rumahtangga? Manja sangatkah perawan akhir zaman sekarang?” saya cuba menyuntik semangat.

“Beratnya jadi suami. Mesti mampu sabar sampai ke mati!” ulas Nasir. Pendek.

“Sabar itu di permulaan sahaja. Insya Allah ia akan naik taraf menjadi redha” saya menokok.

“Susah saya nak bayangkan macam mana suami sabar dan redha sampai ke kubur” Nasir jujur memberitahu.

“Sebab itu ramai anak menjadi pening melayan ibu yang tua selepas kematian ayah!” saya terkenang kisah seorang teman.

“Kenapa?” Nasir tidak faham.

“Hebatnya seorang suami dan ayah, dia mengundurkan banyak SEPATUTNYA hingga dibawa ke kubur. Tolak ansur ayah itu menjadi pakaian yang menghijab kekurangan si isteri yang juga ibu kepada anak-anak mereka berdua. Apabila ayah sudah tiada, barulah kelemahan-kelemahan si ibu muncul menjadi ‘perangai’ yang meletihkan anak-anak. Lepas ayah mati, baru nampak rupa emak yang tidak pernah dilihat sebelum ini.” saya mencukupkan penjelasan.

2_186

“Isteri-isteri kamu itu adalah sebagai pakaian bagi kamu dan kamu pula sebagai pakaian bagi mereka” [al-Baqarah 2: 186]

Suami yang menjadi pakaian isteri itu menyembunyikan kelemahan-kelemahan si isteri dengan penuh sabar dan redha hingga dibawa mati bersama ke kubur, sampai anak tidak nampak kelemahan ibu mereka sepanjang ayah ada bersama. Dia dikebumikan bersama banyak SEPATUTNYA yang dibawa mati tanpa rasa terkilan.

“Inikah maksudnya ERTI HIDUP PADA MEMBERI bagi seorang suami, ustaz?” tanya Nasir.

“Ya. Ia bukan slogan. Tetapi sumber kekuatan diri,” saya menyetujui beliau.

“Dari manakah kekuatan itu mahu dicari?” Nasir melangsaikan pertanyaan.

“Kita hidup dalam dunia yang penuh dengan benda yang TIDAK PATUT. Jadi berpada-padalah pada melayan SEPATUTNYA yang banyak hinggap ke diri. Hidup memberi itu mustahil boleh dibuat-buat, sehinggalah kita berjaya untuk benar-benar percaya, bahawa kita hanyalah HAMBA kepada-Nya. Hamba tidak layak meminta-minta dan meletakkan pelbagai standard atau jangkaan hidup. Fokuskan kepada peranan, dan syukuri setiap yang diterima, biar sekecil mana pun ia” saya selesai berkongsi pandangan.

“Ustaz rasa saya mampu?” Nasir menoleh ke arah saya.

“Berikan ilmu kepada akal supaya tahu. Suntikkan iman ke hati supaya mahu. Berjihadlah menundukkan nafsu supaya mampu. Insya Allah!” saya tersenyum.

Kami sama-sama sepi.

Merenung hutan belantara yang luas terbentang di kiri dan kanan lebuh raya. Hutan tebal yang menyembunyikan 1001 isi dan rahsia, seperti sebuah perjalanan rumahtangga yang tidak diketahui akan rupa kembaranya di hari-hari muka.

Selamat berumahtangga, Nasir.

ABU SAIF @ www.saifulislam.com
68000 AMPANG

Saturday, November 21, 2009

membina dan memelihara cinta!


“Bagaimana andai selepas bertunang setelah sekian lama, dia tidak suka lagi pada kita? Suka pada orang lain”, soal Kak Raiha tiba-tiba.

“Jangankan semasa bertunang kak. Orang berkahwin pun boleh pudar cintanya”.

“Betul juga”.

Persoalan tergantung. Tidak berjawab.

Masing-masing diam. Mata memandang ke tingkap merenung titisan hujan yang lebat.

Aksesori Cinta

“Sememangnya rasa suka yang memutikkan cinta itu perlu. Namun, cinta sahaja tidak menjamin”, Kak Raiha memecahkan kesunyian.

“Maksud akak?”.

“Cinta perlukan aksesori sampingan. Rasa cinta perlu hadir dengan rasa tanggungjawab”.

“Aksesori lain ialah kepercayaan”, tambah Kak Raiha lagi.

Saya semakin mengerti apa yang Kak Raiha cuba sampaikan.

“Rasa tanggungjawab dan kepercayaan ini tidak akan wujud andai tidak rasa diri berTuhan. Cinta jadi tidak berperaturan. Cinta yang jauh dari berpaksikan Tuhan”, saya cuba membuat kesimpulan.

“Benar. Andai cinta berpaksikan Tuhan, barulah lahir cinta sejati yang menyembuhkan, bukan menyakitkan. Bukan cinta buta buatan manusia”.


Cinta Tanpa Tanggunjawab

“Remaja kini terdedah dengan cinta, namun cetek ilmu menguruskannya. Tanpa ilmu, sukar melahirkan rasa tanggungjawab”, Kak Raiha cuba menghuraikan aksesori pertama.

“Tanpa rasa tanggungjawab, si teruna tidak bersifat melindungi kaum wanita. Kaum wanita pula sewenang-wenangnya menyerahkan jiwa dan raga”.

Saya diam mendengarkannya. Realiti yang harus diterima. Realiti bahawa ramai remaja yang terlibat dengan cinta di awal usia, terjebak dengan maksiat dan zina. Realiti yang bimbang lagi meresahkan.

Dengan rasa tanggungjawab yang tinggi, si lelaki akan menghormati wanita dengan tidak merosakkannya. Kesuciannya dipelihara sehinggalah dihalalkan melalui lafaz janji `aku terima nikahnya`. Rasa tanggungjawab yang tinggi juga membentengi diri seorang wanita untuk memelihara kehormatan diri dan rahimnya. Wanita bertanggungjawab untuk mempertahankan dirinya untuk suami yang halal buatnya. Memelihara kesucian rahimnya untuk zuriat yang bakal dilahirkannya.

“Cinta yang Allah gariskan bukanlah untuk menyekat. Cinta berperaturan untuk meningkatkan darjat. Cinta ekslusif!”, pesanan berharga buat remaja mabuk bercinta.

“Cinta tanpa tanggungjawab juga boleh menyebabkan rumah tangga porak peranda”, Kak Raiha mengubah konteks, daripada isu remaja kepada keluarga.

“Dengan mudah, si ayah mahupun ibu boleh `mencintai` orang lain. Bayangkan, andai ibu ataupun bapa sibuk menunaikan tanggungjawab yang tidak pernah selesai terhadap pasangan dan anak-anaknya, soal `terjatuh cinta` dengan orang ketiga pasti dapat dielakkan. Memanglah cabarannya sentiasa ada. Namun, boleh dielakkan!” Kak Raiha sedikit emosi. Tidak adil, tetapi ingin bercinta lagi.

“Setuju kak. Sekalipun suami dan isteri saling mencintai. Tanpa tanggungjawab, selama manakah cinta dapat bertahan agaknya. Cinta dan sayang terhadap anak-anak juga perlu dinilai dengan tanggungjawab”.

“Benar. Anak-anak juga harus punya cinta yang penuh tanggungjawab terhadap ibu bapa”. Peranan anak-anak pula disentuh.

“Bagaimana pula tu?”.

“Anak-anak zaman kini kadangkala sibuk bekerja. Tiada masa untuk bersama ibu bapa”.

“Sekalipun ibu dan bapa pernah melakukan kesilapan ataupun mempunyai kekurangan dalam mendidik kita, jangan menyimpan dendam. Biarlah kekurangan itu dinilai Allah. Lihat perkara positif pada ibu bapa kita. Selain kuasa Allah, jika bukan jasa mereka, masakan kita hidup sehingga kini. Dibesarkan dan dijaga”.

“Andai semua pihak melihat cinta disertai tanggungjawab, insyaAllah tidak timbul masalah. Masing-masing akan fokus pada memberi. Bukan menuntut hak”, saya cuba membuat kesimpulan mengakhiri perbualan.

“Benar, cinta pada Allah juga menuntut kita untuk menzahirkannya. Laksanakan tanggungjawab sebagai hambaNya yang bertaqwa”.

Dicintai Dan Dipercayai

Selain cinta dengan rasa tanggungjawab, cinta juga perlu lengkap dengan mempercayai.

Boleh anda bayangkan hidup tanpa wujud rasa percaya pada orang lain. Tidak percaya orang lain boleh melaksanakan tanggungjawabnya. Tidak percaya orang lain boleh menyimpan rahsia. Bermacam-macam lagi. Tanpa rasa percaya, sukar untuk hidup bahagia. Asyik resah tidak menentu hala.

Justeru, mempercayai itu amat penting dalam memelihara hubungan. Mempercayai seseorang bukan sahaja membuatkan diri kita tenang, bahkan membuatkan diri orang yang dipercayai itu lebih yakin.

Soalnya ialah bagaimana untuk membuatkan diri ini dipercayai sekaligus membina kepercayaan. Kemudian, bagaimana untuk memelihara kepercayaan itu sepanjang perhubungan?

Saya kira, membina kepercayaan mengambil masa. Memulihkan kepercayaan lebih banyak mengambil masa!

Sebelum menjalin hubungan, kepercayaan boleh mula dipupuk. Syaratnya ialah dengan tidak bermuka-muka ataupun berlakon. Lihatlah pada akhlak dan ibadahnya. Andai si dia menjaga hubungannya dengan Allah dan manusia, insyaAllah, apabila bersama kelak, kepercayaan itu sudah terbina.

Bayangkan seorang lelaki yang matanya liar memandang wanita lain. Apakah kita percaya selepas berkahwin kelak, dia akan menundukkan pandangnya?

Bayangkan seorang wanita yang tidak segan silu bertepuk tampar dengan lelaki yang haram buatnya. Apakah selepas bernikah kelak, dia akan menjadi wanita pemalu yang memelihara kelakuannya?

Bayangkan seorang teman yang suka mengumpat orang di sana-sini. Apakah kita yakin, kita tidak akan diumpatnya selepas menceritakan masalah kepadanya?

Ya, benar, manusia boleh berubah dengan izin Allah. Namun, kepercayaan sudah tercalar. Sukar!

Binalah kepercayaan sebelum menjalin hubungan. Kemudian peliharalah kepercayaan itu. Sekali tercalar, mengambil masa untuk memulihkannya.

Cinta Perlu Disuburkan

Cinta perlu ada rasa tanggungjawab dan mempercayai. Semacam kering sahaja bunyinya. Serius dan tidak berwarna-warni. Disebabkan itulah, cinta sesama manusia ini perlu disuburkan dengan kata-kata dan sentuhan. Sentuhan fizikal mahupun jiwa.

Memuji sahabat tentang kelebihan dan sifat positif dirinya.

Membelai anak yang sudah remaja dengan kasih dan mesra.

Menghadiahkan bunga buat isteri tercinta.

Menggantikan bebelan dengan kata-kata semangat buat suami tatkala perkahwinan bertambah usia.

Mengusap wajah ibu dan ayah yang sudah tua dan tidak berdaya.

Bermacam-macam perkara yang boleh dilakukan untuk menyuburkan hubungan sesama manusia melalui sentuhan dan kata-kata. Kadangkala, kita yang tidak amalkannya. Lama-kelamaan, bertukar menjadi kekok. Kemudian, dilabel buang tabiat. Parah!

Mari kita hayati kembali sirah. Kisah cinta manusia paling agung. Cinta Rasulullah terhadap isterinya. Cinta bukan dalam bentuk `segera`. Cinta Rasulullah disertai usaha yang dibajai sentuhan dan kata-kata. Dengan izin Allah, mencairkan hati, menyentuh jiwa.

Tatkala isteri tidur nyenyak kepenatan, Rasulullah memilih untuk tidur diluar, kerana kasihan.

Rasulullah juga tidak kekok meringankan beban isteri dalam menguruskan rumah tangga.

Pernah satu ketika, hidung Saidatina Aisyah dipicit. “Sabar dahulu ya Humaira”, kata nabi seraya memicit hidung Aisyah. Sentuhan mesra untuk menyabarkan dan meredakan.

Rasulullah dan isterinya saling menasihati, bersama-sama memperbaiki diri.

Biji benih gred A, andai tidak dibaja dan dijaga, masakan dapat menghasilkan buah yang sedap. Samalah halnya dengan cinta, andai tidak dibaja, masakan dapat terus kekal bahagia.

Cinta itu perlu, namun cinta semata-mata tidak membawa ke mana. Permulaan yang baik itu tidak menjamin kesudahan yang baik, tanpa baja dan dijaga.

Semoga kita sama-sama dapat amalkan tatkala diri menjalin cinta sesama makhluk menuju cinta kepadaNya.

Wednesday, November 18, 2009

Lagu kiriman ;-)


Right Here Waiting

Oceans apart day after day
And I slowly go insane
I hear your voice on the line
But it doesn't stop the pain

If I see you next to never
How can we say forever

Wherever you go
Whatever you do
I will be right here waiting for you
Whatever it takes
Or how my heart breaks
I will be right here waiting for you

I took for granted, all the times
That I thought would last somehow
I hear the laughter, I taste the tears
But I can't get near you now

Oh, can't you see it baby
You've got me goin' crazy

Wherever you go
Whatever you do
I will be right here waiting for you
Whatever it takes
Or how my heart breaks
I will be right here waiting for you

I wonder how we can survive
This romance
But in the end if I'm with you
I'll take the chance

Wherever you go
Whatever you do
I will be right here waiting for you
Whatever it takes
Or how my heart breaks
I will be right here waiting for you
Waiting for you

Saturday, November 14, 2009

Eratkan hubungan suami isteri

Persefahaman dan tolak ansur antara satu sama lain adalah antara
petua untuk mencapai rumahtangga yang bahagia dan berkekalan. Petua
ini sering digunakan oelh pasanganyang lebih lama mendirikan
ruahtangga hingga ke anak cucu. Suami atau isteri harus mengetahui
peranan dan tanggungjawab masing-masing. Berikut adalah beberapa tip
untuk mengeratkan lagi hubungan suami isteri.

Persefahaman dan saling bertolak ansur

Sikap saling memahami antara satu sama lain adalah perkara utama
dalam rumahtangga. Suami atau isteri perlu mewujudkan persefahaman
ini sebelum berumahtangga lagi. Tolak ansur dalam apa juga perkara
amat diperlukan untuk mengelakkan sebarang masalah lain yang timbul.
Tanpa kedua-dua sikap ini, suami atau isteri akan menghadapi
kesukaran dalam berkomunikasi. Jika isteri mendapati suaminya
mempunyai minat dan hobi seperti memancing dan melancong, isteri
perlu belajar untuk memahami minat suami begitu juga sebaliknya.

Berterus terang dan bersikap terbuka

Berterus terang dengan pasangan perlu dalam kehidupan berumahtangga.
Ia lebih baik jika disertai sikap terbuka pasangan. Suami atau isteri
yang mengamalkan sikap suka menyembunyikan sesuatu dengan pasangannya
secara langsung boleh merenggangkan hubungan. Ini kerana sikap saling
mencurigai akan wujud secara tidak disedari. Namun begitu, tidak
semua rahsia suami atau isteri perlu didedahkan kepada pasangan
terutama perkara yang telah lepas bagi mengelakkan sesuatu yang tidak
diingini berlaku.

Hargai pasangan anda

Menghargai pasangan anda adalah sesuatu yang perlu diwujudkan.
Misalnya suami perlu memberi pujian atas apa yang disediakan oleh
isteri. Pujian yang diberikan terhadap masakan si isteri sekurang-
kurangnya menggembirakan si isteri dan merasa dirinya dihargai.
Begitu juga dengan pihak steri, biarpun suami tidak melakukan tugas
memasak, membasuh dan sebagainya, pujian yang diberikan kerana
membantu anda di dapur pada hujung minggu sekurang-kurangnya berasa
mereka dihargai.

Perhatian yang adil kepada pasangan anda

Kadangkala suami atau isteri memerluakan perhatian lebih daripada
pasangannya. Walau sesibuk mana pun anda dengan kerjaya atau
tanggungjawab, luangkan sedikit masa terhadap pasangan anda.
Meluangkan sedikit masa terutamanya pada hujung minggu denganpasangan
anda adalah lebih daripada anda menumpukan perhatian kepada kerja
yang sememangnya tidak akan selesai.

Menghormati antara satu sama lain

Walaupun hak dan kuasa adalah lebih kepada suami, suami juga perlu
menerima pandangan yang diberikan oleh isteri. Sikap saling menerima
pandangan secara langsung akan mewujudkan sikap hormat isteri
terhadap pasangannya. Isteri juga akan berasa dirinya lebih dihormati
biarpun kedudukan mereka hanya sebagai isteri. Menjadi penyokong atau
penasihat kepada pasangan Suami atau isteri adalah individu yang
hampir kepada setiap pasangan. Jadikanlah suami atau isteri tempat
untuk berkongsi pendapat.

Menyesuaikan diri dengan rakan pasangan anda

Sekiranya anda diperkenalkan dengan rakan pasangan anda, seharusnya
anda tahu menyesuaikan diri dengan mereka. Bagi anda yang mempunyai
suami yang bertugas sebagai ketua kepada kakitangannya, sesuaikan
diri sebagai isteri seorang ketua dengan kakitangan bawahan.

Saling mempercayai antara satu sama lain

Sikap saling mempercayai amat pnting dalam kehidupan berumahtangga.
Tanpa sikap tersebut rasa ragu-ragu dan curiga antara satu sama lain
akan timbul. Ini menyebabkan hubungan suami atau isteri menjadi
dingin.

Anak sebagai pengikat kasih sayang

Anak juga merupakan faktor yang boleh mengeratkan lagi hubungan suami
isteri. Namun beitu, bagi pasangan yang belum mempunyai anak, jangan
berputus asa. Ini bukanlah bermakna anda tidak berupaya mewujukan
rumahtangga yang bahagia dan berkekalan. Semua ini bergantung kepada
anda sendiri untuk mencapainya.

Thursday, November 12, 2009

InsyaAllah



insyaAllah Islam akan tertegak di bumi Allah.. kita semua beriman dan bertaqwa kepadaNya.. juga segala rancangan kita dimakbulkan ALlah.. insyaAllah.. :)

Saturday, November 7, 2009

Jika Aku jatuh Cinta...~

Berdepan Dengan Bakal Isteri Dan Ibu

Masih teringat kata-katanya sewaktu saya meminta nasihat tentang panduan mendidik anak perempuan. Maklumlah, majoriti anak-anak saya lelaki. Adakalanya bagai ketandusan idea dan cara untuk berdepan dengan kerenah anak perempuan
"Perlu banyak meraikan".
Begitu kata Tok Wan apabila ditanya tentang tip mendidik anak perempuan.
"Meraikan bagaimana?"
"Raikan mereka dengan kata-kata, belaian dan pemberian. Itu caranya."
"Maksudnya?" "Hargai pandangan, kegembiraan, kesedihan, kejayaan dan kegagalannya. Selalu ucapkan tahniah, takziah, pujian dan pujukan. Pada ketika yang sesuai, berilah hadiah."

"Kenapa Tok Wan?"
"Umumnya perempuan makhluk perasaan berbanding lelaki makhluk akal. Pendekatan meraikan lebih berkesan bila berdepan dengan perasaan. Pendekatan ini lebih menyentuh dan berkesan."
"Itu pendekatannya, bagaimana pula prinsip asasnya?"
"Wah, kau bertanya, macamlah Tok Wan ni seorang profesor!"
Tok Wan bergurau. Sejenak kemudian, sambil tersenyum dia berkata, "Itu kena bayangkan...bakal isteri. Kemudian, bakal ibu!"
Wah, Tok Wan dah mula bersilat kata! Saya perlu lebih kritis menyoalnya.
"Bayangkan isteri? Isteri saya?" usik saya.
"Anak perempuan kita bakal seorang isteri. Jadi bayangkan bagaimana sifat seorang isteri sejati. Itulah "end in mind" yang perlu sewaktu mendidik anak perempuan," jelas Tok Wan yang mempunyai latar belakang pendidikan agama dan Barat itu.
Belum sempat saya mencelah, soalan Tok Wan mula menerjah, "Apa kau inginkan daripada seorang isteri?"
"Ketaatan", balas saya cepat.
"Lalu didiklah anak perempuan tentang ketaatan. Latih agar dia patuh pada perintah yang baik. Apa lagi?"
"Malu."
"Didik supaya dia mengekalkan rasa malu pada tempat dan ketikanya. Latih dia sentiasa menjaga aurat, tidak meninggikan suara dan tidak lasak pada gerak fizikalnya. Ajar erti maruah dan harga diri. Lagi?"
"Cantik...."
"Wah, tak lupa ya....Latih supaya dia menjaga kecantikan, tingkah laku, wajah, pakaian, tempat tinggal, bilik dan lain-lain. Biar dia pandai menjaga kekemasan, kecantikan dan keindahan. Biar dia peka dengan nilai-nilai estetika. Lagi?"

Saya diam. Dalam ruang fikiran tergambar isteri saya - ibu anak perempuan saya.
"Kau lupa agaknya..." usik Tok Wan.
"Tok Wan laju sangat...."
"Anak perempuan mesti dibiasakan suka berada di rumah.Bukan bermakna dia tidak boleh keluar, tapi biasakan dia suka di rumah. Rumah adalah gelanggang wanita. Ruang itu kecil tapi besar peranannya. Ketika suami keluar, isterilah pemimpin anak-anak dan pelindung hartanya."
"Ini payah Tok Wan, sekarang ini perempuan dah luas gelanggangnya!"
"Ah, kekadang yang luas hanya gelanggangnya, tapi kecil peranannya. Sedangkan di rumah walaupun kecil gelanggangnya, tapi amat besar peranannya. Pernah dengar madah, tangan yang mengayun buaian boleh menggoncang dunia?"

"Tadi Tok Wan kata, kena bayangkan juga bakal ibu."
"Apa yang paling kau hargai daripada seorang ibu?"
"Kasih sayangnya."
"Didiklah agar anak perempuan agar bersifat pengasih. Pengasih dengan adiknya, abang, kakak, binatang peliharaan dan sebagainya. Sebab itu anak perempuan digalakkan bermain dengan anak patung. Itu menyuburkan rasa kasih sayang kepada bayi. Lagi?"
"Sabar."
"Seorang ibu perlu sabar; sabar menanggung perit kehamilan, sakit melahirkan, menjaga sakit-demam, ragam dan kerenah anak. Tanamkan sifat sabar anak perempuan dalam menanggung kesakitan, keletihan, kekecewaan dan sebagainya."

"Mana lebih bayah didik anak perempuan atau anak lelaki?" tanya saya. Dia senyum sinis. Terasa bodoh pula menyoal begitu.
"Soalan itu tidak betul! Sepatutnya soalannya begini, ada beza tak antara mendidik anak lelaki dengan anak perempuan? Senang dan susah itu terlalu relatif dan subjektif sifatnya."
"Beza tak?" pintas saya penuh akur.
"Tentulah, sebab lelaki dan wanita memang berbeza. Tuhan jadikan darjat kedua-duanya sama, tapi peranannya berbeza. Bukan sahaja ciri-ciri fizikal berbeza tetapi ciri-ciri rohaniahnya jua."
"Kata orang bela lembu 10 ekor lebih mudah daripada seorang anak perempuan."
"Perbandingan yang tak relevan. Manusia berbeza dengan lembu. Kita ada hati, akal dan perasaan."
"Tapi tak ada yang kata membela 10 ekor lembu lebih mudah daripada seorang anak lelaki..."
"Terpulang pada "gembala"nya. Kena gaya dan caranya, 10 orang anak perempuan pun boleh dijaga."

"Apa tip Tok Wan untuk Sang Gembala?"
"Bila berdepan dengan anak perempuan, bayangkan kita berdepan dengan bakal isteri. Adakah menantu lelaki kita nanti akan mendapat isteri yang solehah? Bayangkan kita berdepan dengan bakal ibu, adakah cucu kita kelak bakal mendapat ibu yang mithali?"
"Lagi Tok Wan?"
"Untuk menjadi seorang ayah yang baik kepada anak perempuannya, Sang Gembala mestilah menjadi seorang anak yang baik kepada ibunya dan suami yang baik kepada isterinya!"
"Lagi Tok Wan?"
"Last but not least, Sang Gembala wajib baik kepada Tuhannya!"
Saya terdiam. Diam yang panjang. Perlukah saya menyoal lagi?

Editor: Andai diri seorang ibu dan bakal ibu, boleh juga tukar soalan kepada bagaimana mendidik anak lelaki.
*Berikut adalah prakata buku di atas.
KLIK. Buku yang cukup ringkas tapi setiap Nota penuh makna serta padat dengan isi berguna insyaAllah. Boleh dapatkan di kedai buku berdekatan anda.

Tuesday, November 3, 2009

Pada Siapa Patut Diletakkan Cinta

Oleh Dr Ikmal Online

Assalamualaikum,

Sebelum saya membicarakan bab pada siapa patut letak cinta ini saya ingin mengambil kesempatan merakamkan rasa dukacita tentang pemahaman bab “penderitaan mengundang bahagia“.

cintasiapa.jpgJatuh yang tidak ada orang simpati ialah jatuh cinta. Sebab jatuh cinta indah, tidak macam jatuh tangga atau jatuh pokok, sakit. Cinta banyak perkara cinta. Tidak ada siapa pun yang dapat larikan diri daripada mencintai dan dicintai. Kemuncak cinta, ada orang masuk syurga kerana cinta dan tidak kurang ramai orang yang akan dihumbankan ke neraka gara-gara cinta. Cinta yang begaimana boleh bawa seseorang ke syurga dan kenapa ada yang masuk neraka lantaran kerana cinta?

Cinta, rasa yang ada dalam hati yang tidak boleh disukat-sukat. Hati yang merasainya, sehingga boleh terhibur atau terseksa kerananya. Datangnya dari dua sumber yakni dari nafsu dan dari Allah.

Cinta yang diilhamkan oleh nafsu berlaku bila hati kotor, sering melakukan dosa dan tidak pula bertaubat. Sifat-sifat keji seperti sombong, ujub, riak, gila puji, hasad dengki dan lain-lain sifat jahat bersarang dalam hati tidak dikikis, maka ketika itu nafsulah yang akan jadi Tuhan dalam diri sehingga apa saja yang dilakukan mengikut arahan nafsu. Termasuk dalam meletakkan cinta, ukuran yang diberi dan sebab jatuh cinta pun ikut selera nafsu.

Lelaki akan jatuh cinta pada perempuan yang mendedahkan kecantikannya hingga tubuh badan perempuan itu sudah tidak terlindung lagi pada pandangan nafsunya. Cinta diberi ialah untuk mengisi keinginan nafsu seks lelaki kepada perempuan. Begitu juga wanita, jatuh cinta sebab lelaki kaya, handsome bergaya, ada jawatan dan lain-lain keistimewaan yang disenangi oleh nafsu. Lantas cinta diberi dengan harapan mereka dapat tumpang kemewahan dan kesenangan hidup lelaki tersebut. Jelasnya, cinta yang datang dari nafsu ditujukan untuk kesenangan nafsu semata-mata.

Bila bertaut dua cinta yang dilahirkan oleh nafsu yang punya kepentingan masing-masing maka berlangsunglah babak-babak melahirkan rasa cinta. Dari surat menyurat, telefon, ziarah, keluar makan-makan, berdua-duaan di taman bunga, dalam keadaan saling rindu merindukan.. Ketika itu tak ada lain dalam ingatan melainkan orang yang dicintai. Sehari tak jumpa atau tidak telefon rasa berpisah setahun. Sudah tidak malu pada orang sekeliling, apa lagi pada Allah yang Maha Melihat. Lagi mereka tidak ingat dan takut. Lantaran itu mereka sanggup buat apa saja untuk membuktikan kecintaan pada pasangan masing-masing.

Hatta yang perempuan sanggup serah maruah diri konon untuk buktikan cinta pada lelaki. Yang lelaki pula rela bergolok bergadai untuk memberikan kemewahan pada perempuan sebagai bukti cinta. Akhirnya bila yang perempuan telah berbadan dua, lelaki serta merta hilang cintanya. Habis manis sepah dibuang. Kalau pada lelaki pula, ada duit abang sayang, tak ada duit abang melayang. Kalau pada suami pula, isteri seorang suami disayang, bila hidup bermadu kasih pada suami hilang.

Itulah falsafah cinta nafsu yang melulu. Cintanya hanya selagi nafsu ada kepentingan. Cinta inilah yang banyak melanda orang muda yang dilambung asmara. Hingga sanggup buat apa saja, sekalipun bunuh diri, kalau kecewa dalam bercinta. Walhal sedap dan indahnya sekejap. Sakitnya lama, sakit yang paling dahsyat ialah di neraka kelak. Inilah kemuncak cinta yang paling malang dan memalukan.

Cinta nafsu kalau pun boleh bersambung sampai membina rumahtangga ia tetap akan menyeksa. Kerana suami akan cinta pada isteri selagi isteri masih muda, seksi dan manja. Yakni selagi nafsu dapat disenangkan. Bila isteri tua, kulit berkedut, tampal make-up lagi hodoh, rambut putih dan gigi pun sudah banyak gugur seperti opah, badan pun sudah kendur, maka cinta suami akan beralih pada gadis muda yang menarik. Sekaligus hilanglah cinta suami. Menderitalah isteri yang hilang perhatian suami apalagi kalau terang-terang depan mata suami kepit perempuan lain, lagilah isteri terseksa.

Begitu juga si isteri. Cintakan suami selagi suami boleh membahagiakan dan menunaikan segala keinginan nafsu. Selagi suami kasih dan sayang padanya. Andainya suami hilang kuasa, jatuh miskin, masuk penjara atau suami kahwin lagi seorang maka serta merta hilang cinta pada suami. Sebaliknya berbakul-bakul datang rasa benci pada suami yang dulu dipuja tinggi melangit. Begitu mudah cinta bertukar jadi benci. Akibatnya berlakulah pergaduhan, masam muka, kata-mengata, ungkit mengungkit, suami tidak pedulikan isteri dan isteri pun hilang hormat pada suami. Rumahtangga panas dan menunggu saat untuk ditalqinkan ke kubur perceraian. Ketika itu tak ada lagi pujuk rayu, cumbu mesra sebagaimana waktu cinta tengah membara. Maka doktor yang menulis pun dituduh merendahkan wanita, jangan marah tahu.
Itulah gara-gara cinta nafsu yang sudah menyusahkan manusia di dunia lagi.

Sebaliknya cinta yang dialirkan oleh Allah ke dalam hati, itulah cinta yang benar, suci lagi murni. Cinta yang bukan diukur ikut pandangan mata, tapi ikut pandangan Allah. Ia bersebab kerana Allah dan cinta diberi pun untuk dapat keredhaan Allah. Cinta begini tiada batasannya. Tidak pula kenal jantina dan kedudukan. Dan cinta lahir hasil dari sama-sama cinta pada Allah.

Boleh berlaku pada lelaki dengan lelaki, perempuan dengan perempuan, lelaki dengan perempuan, antara murid dengan guru, suami dengan isteri, sahabat dengan sahabat, rakyat dengan pemimpin, antara umat dengan Nabinya dan yang paling tinggi antara hamba dengan Tuhannya.

Kalau berlaku antara lelaki dengan perempuan yang tidak diikat oleh tali perkahwinan, mereka tak akan memerlukan untuk berjumpa, bercakap atau melakukan apa saja yang bertentangan dengan kemahuan Allah. Cinta mereka tidak akan dicelahi oleh nafsu berahi. Sebaliknya cinta itu ialah tautan hati yang berlaku walaupun tak pernah jumpa atau baru kenal tapi hati rasa sayang dan rindu. Hati sedih kalau orang yang dicintai ditimpa susah, senang kalau yang dicinta itu senang. Sanggup susah-susahkan dan korbankan diri untuk senangkan orang yang dicintai.

Cinta yang begini ada diceritakan dalam hadis, iaitu seorang lelaki yang bertemu dan berpisah dengan sahabatnya kerana Allah maka mereka akan mendapat perlindungan ‘arasy Allah di padang mahsyar nanti, hari di mana masing-masing orang mengharap sangat lindungan dari matahari yang sejengkal saja dari kepala.

Kalau berlaku antara suami isteri maka isteri akan letak seluruh ketaatan pada suami, berkhidmat dan melayan suami tanpa jemu-jemu. Sama ada waktu suami tunjukkan sayang atau masa suami marah-marah. Sama ada suami kaya atau miskin, atau suami kahwin lagi, cinta isteri pada suami tidak belah bagi. Salah satu contohnya penderitaan mengundang bahagia. Kerana cintanya pada suami datangnya dari Allah hasil dari ketaqwaan isteri. Datanglah ribut taufan, angin putting beliung melanda rumah tangga, isteri tetap memberikan cintanya yang utuh dan teguh.

Begitu juga suami, cinta pada isteri tidak kira isteri itu muda atau tua. Samada pada hatinya. Selagi isteri taat pada Allah, isteri tetap dikasihinya. Kalau dia ada empat isteri, tentulah isteri-isteri akan tertanya-tanya, pada isteri manakah yang suami paling cinta? Kalau cinta itu bersumber dari Allah, tentu isteri yang paling taqwalah yang paling layak dicintai oleh suami lebih dari isteri-isteri lain.

Sumber cinta yang datang dari Allah akan meletakkan Allah yang paling tinggi dan utama. Bila berlaku pertembungan antara cinta Allah dengan cinta pada makhluk maka cinta Allah dimenangkan. Misalnya seorang isteri yang cinta suaminya. Tiba-tiba suami larang isteri melakukan ketaatan pada Allah dalam hal tutup aurat, walhal tutup aurat itu Allah tuntut. Maka kecintaan pada Allah itu akan mendorongnya untuk laksanakan perintah-Nya walaupun suami tidak suka ataupun terpaksa kehilangan suami. Sanggup dilakukan sebagai pengorbanan cintanya pada Allah. Sebaliknya kalau dia turut kemahuan suami ertinya kata cinta pada Allah hanya pura-pura, cintanya bukan lagi bersumberkan Allah tapi datang dari nafsu.

Cinta yang datang dari Allah menyebabkan seseorang cukup takut untuk melanggar perintah Allah yang kecil, apalagi yang besar, lagi dia gerun. Seorang yang sudah dapat mencintai Allah, cinta yang lain-lain jadi kecil dan rendah padanya.

Sejarah menceritakan kisah cinta Zulaikha terhadap Nabi Yusuf. Sewaktu Zulaikha dibelenggu oleh cinta nafsu yang berkobar-kobar pada Nabi Yusuf, dia sanggup hendak menduakan suaminya, seorang menteri. Bila Nabi Yusuf menolak keinginannya, ditariknya baju Nabi Yusuf hingga terkoyak. Akibat dari peristiwa itu Nabi Yusuf masuk penjara. Tinggallah Zulaikha memendam rindu cintanya kepada Yusuf.

Penderitaan cinta yang ditanggung oleh Zulaikha menyebabkan dia bertukar dari seorang perempuan cantik menjadi perempuan tua yang hodoh. Matanya buta kerana banyak menangis terkenangkan Yusuf, hartanya habis dibahagi-bahagikan kerana Yusuf. Sehingga datanglah belas kasihan dari Allah terhadapnya. Lalu Allah mewahyukan agar Nabi Yusuf mengahwini Zulaikha setelah Allah kembalikan penglihatan, kemudaan dan kecantikannya seperti di zaman gadisnya. Peliknya, bila Zulaikha mengenal Allah, datanglah cintanya pada Allah sehingga masanya dihabiskan untuk bermunajat dengan Allah dalam sembahyang dan zikir wirid sehingga terlupa dia hendak melayan kemahuan suaminya Yusuf yang berhajat kepadanya. terpaksa Nabi Yusuf menunggu Zulaikha menghabiskan sembahyangnya, hingga hampir hilang kesabaran Nabi Yusuf lantas ditariknya baju Zulaikha sehingga koyak; sebagaimana Zulaikha pernah menarik baju Nabi Yusuf seketika dulu.

Begitulah betapa cinta yang dulunya datang dari nafsu dapat dipadamkan bila dia kenal dan cinta pada Allah. Cinta Allah ialah taraf cinta yang tinggi. Kemuncak cinta ini ialah pertemuan yang indah dan penuh rindu di syurga yang dipenuhi dengan kenikmatan.

Cinta pada Allah akan lahir bagi orang sudah cukup kenal akan Allah. Kerana cinta lahir bersebab. Kalau wanita cinta pada lelaki kerana kayanya, baiknya, tampan dan sebagainya dan lelaki cinta wanita kerana cantik, baik, lemah lembut dan sebagainya maka bagi mereka yang berakal akan rasa lebih patut dicurahkan rasa cinta pada Allah kerana segala kenikmatan itu datangnya dari Allah.

Ibu bapa, suami, isteri, sahabat handai dan siapa saja yang mengasihi dan mencintai kita, hakikatnya itu semuanya datang dari Allah. Kebaikan, kemewahan dan kecintaan yang diberikan itupun atas rahmat dan kasihan belas Allah pada kita. Sehingga Allah izinkan makhluknya yang lainnya cinta pada kita. Walhal Allah boleh bila-bila masa menarik balik rasa itu dari hati orang-orang tadi kalau Allah mahu.

Allah yang menciptakan kita makhluk-Nya, kemudian diberinya kita berbagai-bagai nikmat seperti sihat, gembira, dan macam-macam lagi. Samada masa kita ingat pada-Nya ataupun masa kita lalai, tetap diberi-Nya nikmat-nikmat itu. Begitulah, kebaikan Allah pada kita terlalu banyak sebagaimana firman-Nya: yang bermaksud:

Kalau kamu hendak menghitung nikmat-nikmat Allah, nescaya kamu tak terhitung.”

Besar sungguh jasa Allah dari menciptakan, menghidupkan dan memberi rezeki, suami, isteri, rumah dan macam-macam lagi yang dengannya kita boleh lalui kehidupan dengan aman bahagia. Alangkah biadapnya kita kalau segala pemberian Allah itu kita ambil tapi lupa untuk ucapkan terima kasih, lupa pada yang memberi. Walhal, Allah boleh saja menyusah dan menyenangkan kita dengan kehendaknya.

Oleh itu orang yang betul kenal dan beradab, dia malu pada Allah. malah kerana malunya itu dia tidak nampak yang lain lebih hebat dari Allah. Cintanya tertumpu pada Allah, dan penyerahan diri pada Allah sungguh-sungguh. Setiap saat menanggung rindu lalu masanya dihabiskan untuk berbisik-bisik dengan kekasihnya. Sehingga kerana terlalu mendalam cinta pada Tuhan ada hamba Allah yang berkata, “Wahai Tuhan, aku mencintai Engkau bukan kerana takutkan neraka-Mu. tapi kerana Zat-Mu, ya Allah. Aku rela masuk neraka kalau itulah kemahuan-Mu.”

Itulah rintihan hati seorang wali perempuan Rabiatul Adawiyah dalam munajatnya dengan Allah. Dia menyatakan dua cinta tidak boleh duduk dalam satu hati. Bila cinta Allah sudah penuh dalam hatinya, maka tidak ada tempat lagi untuk cinta selain dari itu.

Ada orang mangatakan: “Jika kau berikan hatimu ataupun cintamu pada manusia nescaya dia akan merobek-robekkannya. Tapi kalau hati yang pecah itu diberikan kepada Allah nescaya dicantum-cantumkan-Nya. Ertinya cinta dengan Allah pasti berbalas. Dan Allah tidak membiarkan orang yang dicintai-Nya menderita di akhirat.”

Jadi seorang yang bijak dan beradab akan meletakkan kecintaan yang besar pada Allah, pada Rasulullah dan barulah pada makhluk-makhluk lain di samping-Nya. Itulah perletakan cinta yang betul dan menguntungkan di dunia dan juga di akhirat. Itulah dia cinta kita pada Allah swt yang patut kita letakkan.

Erti Pernikahan

Pernikahan itu adalah salah satu anugerah dan nikmat yang dikurniakan oleh Allah SWT kepada hamba-hambaNya, khususnya kepada kita iaitu umat Rasulullah SAW. Pernikahan merupakan jalan yang sah lagi diredhai oleh Allah SWT bagi menghalalkan hubungan antara lelaki dan perempuan.

Adalah merupakan fitrah manusia yang sihat bahawa seorang lelaki akan tertarik kepada perempuan, dan begitulah sebaliknya. Maka, apabila telah wujud rasa suka dan cinta seorang lelaki kepada seorang perempuan, syariat Islam telah menyediakan pernikahan sebagai jalan memanifestasikan kecenderungan dan kecintaan yang wujud di antara dua insan tersebut.

Firman Allah SWT yang lebih kurang maksudnya:

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.”
(Surah Ar-Ruum, ayat ke-21)


Sememangnya fitrah seseorang lelaki akan menyukai perempuan, dan seseorang perempuan akan menyukai lelaki. Rasa suka, cinta, dan cenderung itu adalah fitrah yang tidak boleh dinafikan malah tidak perlu dinafikan. Apa yang penting ialah perasaan itu haruslah disalurkan dan dimanifestasikan dengan cara yang halal dan baik.

Imam Al-Ghazali menyatakan bahawa cinta itu adalah kecenderungan jiwa kepadanya (kepada sesuatu yang dicintai itu) kerana keadaannya yang merupakan suatu kenikmatan kepadanya. Semakin bertambah kenikmatan, semakin bertambahlah kecintaan.

Allah SWT melengkapkan manusia dengan pancaindera yang dengannya manusia dapat merasai kenikmatan dan kelazatan dalam perkara yang disukai dan dicintai. Dalam salah sebuah hadith yang dipetik oleh Imam Al-Ghazali di dalam Ihya’ ‘Ulumuddin;

Rasulullah SAW bersabda yang lebih kurang maksudnya:

“Tiga hal dari duniamu yang dijadikan aku menyukainya, yakni: wangi-wangian, wanita, dan kesejukan hatiku dalam solat.”

Maka, kesukaan yang diwujudkan antara seorang lelaki dan perempuan itu, haruslah disatukan melalui jalan pernikahan. Sudah tentu, pernikahan itu ada syarat-syaratnya dan adab-adabnya. Adab-adab dalam pernikahan perlu diberikan perhatian yang teliti kerana pernikahan membawa erti yang cukup besar. Antara tujuan pernikahan adalah bagi menghalalkan perhubungan antara seorang lelaki dan perempuan. Segala batas pergaulan antara lelaki dan perempuan, dari segi pandangan, sentuhan, mahupun pendengaran, diangkat melalui pernikahan. Namun, erti pernikahan yang sebenar tidaklah sekecil itu.

Pada hari ini, apabila pernikahan itu difahami hanya dalam konteks menghalalkan perhubungan antara seorang lelaki dan seorang perempuan, maka kita dalam melihat banyaknya masalah dalam rumahtangga dan kehidupan berkeluarga. Antara erti yang paling besar melalui pernikahan adalah pernikahan ini merupakan suatu ibadah, yang dapat membantu kehidupan beragama seseorang itu. Dalam salah sebuah hadith, Rasulullah SAW menerangkan betapa besarnya erti pernikahan dalam konteks melengkapkan agama seseorang itu.

Sabda Rasulullah SAW yang lebih kurang maksudnya:

“Barangsiapa yang telah dikurniakan oleh Allah dengan isteri yang solehah, maka ia telah dilengkapkan sebahagian daripada agamanya. Maka, bertaqwalah kepada Allah untuk sebahagian yang lain itu.”
(Hadith Riwayat At-Tabrani dan Al-Hakim dan dinyatakan sahih sanadnya)

Dalam matan yang lain, disebut bahawa pernikahan itu melengkapkan separuh daripada agama, dan hendaklah bertaqwa kepada Allah untuk separuh lagi. Justeru, hal ini seharusnya menggambarkan kepada kita betapa melalui jalan pernikahan itu dapat melengkapkan sebahagian besar daripada agama. Hal tersebut, sudah tentu berkait rapat dengan maksud dan hikmah pernikahan yang lain.

Antaranya, melalui pernikahan kelangsungan hidup manusia sebagai manifestasi tanggungjawab khalifah dapat dipastikan berlaku. Melalui pernikahan juga akan dapat meneruskan kehidupan manusia, melalui anak-anak yang dilahirkan. Anak-anak yang dilahirkan itu akan lahir sebagai umat Rasulullah SAW. Maka, apabila terdidik pula anak-anak itu dengan baik menjadi anak yang soleh dan solehah, berbanggalah Rasulullah SAW dengan bilangan umat baginda yang banyak. Ibubapa akan mendapat kebaikan, dan masyarakat akan mendapat manfaat.

Sabda Rasulullah SAW yang bermaksud:

“Kahwinilah olehmu wanita yang pencinta (sangat mencintai suami dan anak-anak) dan peranak (subur). Maka sesungguhnya aku bermegah-megah dengan banyaknya kamu (umat Rasulullah) itu terhadap nabi-nabi yang lain di hari kiamat.”
(Hadith Riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban)

Pernikahan juga adalah merupakan perkara yang akan dapat menenangkan jiwa, serta membantu proses untuk meningkatkan kualiti kerohanian seseorang. Hal ini demikian kerana melalui jalan pernikahan akan lebih memelihara kehormatan serta kesucian jiwa seseorang itu. Hati akan lebih tenang kerana sesebuah pernikahan yang baik itu akan dikurniakan oleh Allah SWT dengan ‘Mawaddah wa Rahmah’, yakni rasa kasih dan sayang.

Selain daripada itu, pastinya adalah lebih mudah bagi seseorang yang telah berkahwin untuk memelihara diri daripada melakukan dosa dan maksiat, termasuklah maksiat hati. Apabila seseorang itu lebih mampu memelihara dirinya daripada maksiat, maka lebih mudahlah untuk seseorang itu memberikan penumpuan kepada ibadah dan usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Sabda Rasulullah SAW yang lebih kurang bermaksud:

“Barangsiapa yang telah merasa sanggup (mampu) untuk berumahtangga, maka hendaklah ia bernikah. Sesungguhnya nikah itu lebih melindungi penglihatan dan lebih memelihara kehormatan. Dan sesiapa yang belum sanggup (mampu), hendaklah dia berpuasa, kerana puasa itu dapat mengurangkan nafsu syahwat.”
(Hadith Riwayat Bukhari)


Maka, apa yang penting untuk difahami adalah bahawa pernikahan itu merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualiti ibadah, serta seharusnya menjadikan seseorang itu lebih dekat kepada Allah SWT. Hal ini demikian kerana pada hakikatnya, pernikahan itu sendiri adalah merupakan satu kurniaan yang besar daripada Allah SWT kepada hamba-Nya.

Bukankah jodoh itu ketentuan Allah? Oleh sebab itulah kita dapat melihat pada hari ini, begitu ramai orang yang bercinta selama bertahun-tahun lamanya, tetapi akhirnya tidak sampai kepada pernikahan. Ada juga yang bercinta begitu lama, akhirnya menikah jua. Ada juga yang berkenalan hanya seketika, kemudian terus mendirikan rumahtangga.

Keadaan-keadaan tersebut seharusnya memberikan kepada kita suatu pengertian bahawa soal jodoh bukanlah terletak kepada usaha manusia, tetapi adalah merupakan ketetapan dan ketentuan Allah SWT. Usaha manusia itu hanyalah sebagai sebab. Maka, bagi sesiapa yang setelah menikah dengan seseorang itu, semakin jauh hatinya daripada mengingati Allah serta beribadah kepada-Nya, bukankah itu namanya kufur nikmat?

Kerana erti syukur itu, adalah apabila kita menghargai pemberian dan kurniaan daripada Allah SWT untuk lebih mendekatkan kita kepada-Nya. Justeru, adalah penting juga untuk difahami bahawa di sebalik kenikmatan dan faedah pernikahan, terdapat risiko dan cabaran yang seandainya seseorang itu lalai dalam menjalankan tanggungjawabnya, khususnya tanggungjawab kepada Allah dan kepada Rasulullah, maka pastinya seseorang itu akan mudah terjerumus dan terperangkap dalam hal-hal yang tidak baik yang hadir bersama sesebuah pernikahan.

Imam Al-Ghazali mengingatkan tentang hal ini di dalam Ihya’ ‘Ulumuddin. Antara kesusahan dan cabaran yang akan hadir bersama pernikahan adalah untuk mencari nafkah buat keluarga daripada sumber yang halal. Hal tersebut adalah merupakan kewajipan bagi seorang suami. Selain daripada itu, antara kemudaratan paling besar apabila seseorang itu lalai dalam kehidupan berkeluarganya adalah kelalaian daripada zikir kepada Allah SWT dan persiapan menuju akhirat.

Kesibukan duniawi, kesibukan menguruskan hal keluarga, boleh sampai melalaikan seseorang itu daripada mengingati Allah SWT. Kesusahan dalam mencari nafkah, boleh sehingga mewujudkan sifat bakhil. Tuntutan kehendak dan keperluan isteri dan keluarga, boleh membawa kepada kefakiran, yang akhirnya boleh membawa seseorang itu kepada kebinasaan.

Imam Al-Ghazali memetik sebuah hadith Rasulullah SAW sebagai peringatan, yang kira-kira maksudnya:

“Akan datang pada manusia suatu zaman di mana lelaki binasa di tangan isterinya, kedua orang tuanya, dan anaknya. Mereka mencelanya dengan kefakiran dan membebaninya dengan sesuatu yang tidak mampu dipikulnya. Maka ia memasuki tempat-tempat yang akan menghilangkan agamanya. Lalu ia binasa.”

Justeru, adalah sangat penting bagi seseorang itu untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, serta memahami dan menyikapi pernikahan itu dalam erti dan konteks ibadat yang luas. Kecintaan seorang suami kepada isteri, mahupun kecintaan seorang isteri kepada suami, haruslah jangan sampai melalaikan kecintaan yang lebih berhak. Kecintaan kepada Allah dan Rasulullah itu sudah tentu adalah yang paling utama.

Sabda Rasulullah SAW yang bermaksud:

“Tidaklah seseorang di antara kamu beriman sehingga ia menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada keluarganya, hartanya, dan manusia seluruhnya.”

Apabila seseorang itu mencintai keluarganya, hartanya dan dunianya lebih daripada kecintaan kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW, maka sudah tentu Allah akan menyerahkan seseorang itu untuk diurus dan diaturkan kehidupannya oleh dunianya. Namun, apabila seseorang itu menjadi kekasih Allah SWT dan Rasulullah SAW, maka kehidupannya diatur dan diurus oleh Allah SWT.

Bukankah Allah itu sebaik-baik pengurus? Bukankah Allah itu sebaik-baik pembantu dan penolong? Sungguh, sebaik-baik tempat bergantung hanyalah Allah!





Sunday, October 25, 2009

Rumahtangga hilang perencah kata

b0378

“Assalamualaikum,” sang suami memberi salam tatkala menjengah di muka pintu usai pulang daripada kerja.

“Waalaikum al-salaam. Abang tolong petik suis kipas tu,” jawab si isteri yang sedang membedakkan anaknya.

Wajah suami menjadi kelat.

Suis dipetik, tetapi cerianya di muka pintu tadi terbang melayang.

“Ina sakit kepalalah. Agaknya sebab kopi yang Ina minum petang tadi. Banyak kafien,” adu sang isteri sambil memicit-micit kepalanya.

“Ayang ada nampak tak butang baju melayu abang? Rasanya semalam abang letak di atas almari ini,” jawab si suami, dengan soalan yang bukan jawapan.

Si isteri bangun dengan air muka yang berubah, sambil teraba-raba mengeluarkan butang baju melayu suami daripada simpanan.

SEMUSIM TELAH BERLALU

Dialog seperti ini tidak melintas kehidupan pasangan yang masih berinai di jari. Tatkala itu, bicaranya panjang-panjang. Selang seminit ada sahaja gurau senda yang memecah tawa. Itu seni berbual di musim bulan madu.

Tetapi selepas masa berlalu, perbualan menjadi semakin ringkas dan isi-isinya lebih banyak bersangkutan dengan rutin harian berbanding butir-butir baru yang menambah warna hubungan antara suami dan isteri. Jika dahulu, had 160 karakter pada SMS itu menambah sulit untuk pesan-pesan dihantar antara dua pasangan yang bercinta, kini 160 karakter itu sering sahaja berbaki. Bukan kerana banyak ringkasan ejaan, tetapi banyak ringkasan pesan.

Ada kalanya perkembangan seperti ini tidak disedari berlaku di antara suami dan isteri. Mereka membiarkan sahaja perbualan sesama mereka hilang kemanisan dan kemesraan. Sebaliknya berasa cukup selesa dengan tercapainya matlamat-matlamat harian, dan tercegah daripada pergaduhan yang kebetulannya sering mencelah hubungan mereka semasa beranak satu dahulu, berbanding sekarang.

Seorang isteri mahu pun suami harus bertanya, apakah isi kandungan kata-kata hariannya kepada pasangan?

Arahan?

Suruhan?

Permintaan?

Larangan?

Kritikan?

MINIT-MINIT PENENTU

Selepas berpisah separuh hari kerana komitmen kerja, memilih perkataan yang betul sebagai pemula bicara di minit-minit awal pertemuan amat penting. Tetapi setelah 12 jam tidak bertemu, dan kalimah yang menyambut pertemuan ialah ‘arahan’ biar pun arahan itu logik, perlu, dan tidak mempunyai apa-apa niat yang tidak baik, ia tetap tabiat yang mampu menghambarkan hubungan perkahwinan.

“Assalamualaikum,” kata suami semasa isteri membuka pintu kereta.

“Waalaikum al-Salaam. Amboi cerianya muka abang. Ada berita baikkah?” jawab si isteri, beserta kenyataan yang memperlihatkan kepekaannya ‘membaca’ suami.

“Oh, tiada apa-apa. Projek abang dah siap. Berita baiknya, balik ke rumah hari ini dengan kepala kosong. Tenang” balas suami. Bijak mewujudkan ‘berita baik’ walaupun mungkin tidak terfikir mengenainya untuk dikongsi bersama isteri semasa terperangkap di kesesakan jalan raya tadi.

“Baguslah. Tidaklah nanti mengigau-ngigau di malam hari. Abang kalau runsingkan sesuatu sampai bercakap dalam tidur, tau” tambah si isteri.

Perbualan itu berterusan dan ia amat berkesan dalam menghilangkan rasa letih bekerja sepanjang hari kedua-duanya. Si suami biar pun sudah 10 tahun berumahtangga, sering mahu bersegera bertemu dengan isteri kerana yakin bakal terhibur dengan celoteh yang menenangkan diri setelah diasak bebanan tugas semenjak pagi. Isteri juga tersenyum-senyum berdiri di bawah redup bumbung pejabat kerana perbualan semalam bersama suami terasa bagai mahu disambung lagi.

DIALOG PEROSAK

Berbeza sekali kesan perbualan pasangan berikut ini:

“Assalamualaikum. Lama tunggu?” tanya suami kepada isteri setelah tiba lewat sedikit akibat traffic jam.

“Wa ‘alaikum al-Salam. Biasa aje. Abang jom pergi kedai sekejap. Tadi bibik sms, katanya sabun mandi anak sudah habis,” jawab isteri, beserta ‘permintaan’.

“Ok,” jawab suami, benar-benar ringkas.

“Letih betullah di tempat kerja tadi. Minggu depan ada pemeriksaan ISO. Habis semua orang dikerah bos supaya menyediakan laporan. Rasa bengkak tangan ini dibuatnya,” kata isteri sambil menunjukkan tangannya.

Suami hanya menjeling di hujung mata.

“Jadi minggu depan, you balik kerja lewatlah ya?” tanya suami.

Soalannya langsung tidak mempunyai sebarang indikasi yang menunjukkan kepeduliannya terhadap bengkak tangan si isteri.

“Agaknya” balas isteri.

Suami terus memerhatikan trafik.

Isteri pula merenung jauh ke luar tingkap.

Hanya hilai tawa DJ radio sahaja yang memecah hening sepi di dalam kereta.

Kedua-duanya sedang membunuh kasih sayang mereka tanpa sedar, tatkala bicara masing-masing gersang dari sebarang emosi dan usaha yang bisa menyuburkan cinta. Mereka tidak bergaduh, tetapi menyediakan tapak untuk perang dingin yang membingungkan.

RAFAS DAN JANGAN RAFAS

Pernahkah kita terfikir mengapa di dalam suasana-suasana tertentu, kita dilarang daripada mengungkapkan kata-kata atau melakukan sebarang perbuatan yang dikategorikan sebagai rafas di dalam al-Quran dan al-Sunnah? Bagi mereka yang berada di dalam ihram, atau yang sedang berpuasa khususnya di bulan Ramadhan, larangan terhadap unsur rafas itu diulang berkali-kali.

Rafas ini adalah perkataan atau perbuatan yang bersangkut paut dengan seks, bermula daripada cakap-cakap dan tindak tanduk hinggalah membawa kepada menggauli pasangan.

Jika negatif ia bernama lucah.

Jika positif ia bermaksud intim.

Kedua-duanya harus dielak tatkala sedang berihram atau berpuasa kerana kondisi masing-masing yang sedang ‘terbatas’.

Tetapi ketika suami dan isteri tidak berihram mahu pun berpuasa, ‘berrafaslah’ kamu antara satu sama lain!

Ia tidak sama sekali bermaksud melucahkan perkataan atau perbuatan. Tetapi apa yang diperlukan dalam hubungan suami isteri adalah kata-kata dan perbuatan yang intim serta menerbitkan rasa cinta.

HAMBAR DAN HILANG ‘SENSE OF HUMOR’

Seandainya suami yang balik bekerja, mengajak isteri berbual tentang pandangannya berkaitan dengan perkembangan Papan Kedua Bursa Saham Kuala Lumpur, atau gosip ekonomi di saluran Bloomberg, di manakah saluran untuk terbitnya rasa cinta dan mesra antara pasangan berkenaan?

Mungkin pandangan ini lebih perlu ditegaskan kepada pasangan-pasangan yang bertemu jodoh di medan dakwah. Kita pasti, ramai daripada kalangan aktivis dakwah yang berkahwin adalah di atas faktor-faktor yang tinggi, dan bukan didorong oleh kecantikan isteri, atau ketampanan suami.

Tetapi, biar pun perkahwinan itu bukan kerana kecantikan, janganlah sampai sang suami langsung tidak pernah menghargai kecantikan isteri.

“Abang, cantik tak baju raya saya ni?” tanya si isteri yang baru membeli baju raya dengan warna sedondon baju raya suami yang telah ditempah lebih awal.

“Hmm…” jawab si suami, langsung tidak menampakkan sebarang emosi.

Lebih teruk lagi, jika usaha isteri untuk berhias, diperlekeh pula oleh si suami.

“Ok la, berbanding dengan nangka berbalut kain batik di pokok tu!” kata suami.

Aduh, hancur hati isteri mendengarnya.

Sama jugalah dengan sang isteri. Andaikata perkahwinan yang dibina tiada kena mengena dengan soal paras rupa sekali pun, berilah galakan kepada suami untuk berhias. Tidaklah sampai bersolek pula, tetapi cukuplah dengan memakai pakaian yang kemas, rambut bersikat, janggut dikemaskan, bulu ketiak dan kuku dipotong, serta tubuh badannya diberi galakan agar maintain dan tidak terlalu membesar.

TELADAN NABAWI

Pernah di suatu ketika, terdapat sebuah kisah yang disampaikan oleh ‘Abbas al-’Aqad di dalam ‘Abqariah al-Siddiq berkenaan dengan sebuah syair yang telah dihafal oleh ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Syair berkenaan dipelajari oleh ‘Aisyah daripada bapanya Abu Bakr al-Siddiq radhiyalaahu ‘anhu.

“Suatu hari ketika cuaca begitu panas terik, Rasulullah sallallaahu ‘alayhi wa sallam memperbaiki kasut baginda. Di dahi baginda sallallaahu ‘alayhi wa sallam mengalir peluh hingga ke pipi. Ketika itu ‘Aisyah mampir dan memerhatikan baginda dari dekat, seolah-olah beliau teringatkan sesuatu.

Lalu Rasulullah sallallaahu ‘alayhi wa sallam bertanya, “Apakah hal yang menyebabkan engkau tercengang?”

‘Aisyah menjawab, “Diriku merenung wajahmu, dan keringat yang mengalir itu menerbitkan kilauan yang menakjubkan diriku. Sekiranya Abu Kabir al-Hazli melihatmu, pastilah dia tahu bahawa engkaulah orang yang paling berhak ke akan syairnya.”

Baginda bertanya lagi, “apakah yang dia katakan?”

‘Aisyah menjawab dengan lantunan syair:

syair-abu-kabir

Tidak berbekas padanya (kebudak-budakan) susuan ibu atau sakit yang melarat
Jika engkau memandang kepada wajahnya yang berseri-seri
Bercahaya bagaikan kilatan petir yang menyambar

Baginda Rasulullah sallallaahu tatkala mendengar syair itu melepaskan apa yang ada di tangan Baginda, bangun lalu mencium dahi ‘Aisyah dan berkata, “kemanisan apa yang telah engkau ungkapkan, adalah lebih mengujakan berbanding pandangan peluhku berbekas kepada dirimu!” [Lihat juga Rahmat-ul-lil-Aalameen: jilid 2, ms. 153]

Catatan itu begitu indah pada menggambarkan keintiman hubungan di antara Uswah Hasanah kita dengan isterinya. Bagaimana ‘Aisyah menggunakan kuasa kata-kata syair yang indah untuk memuji suaminya yang kepenatan bekerja, manakala suami pula menunjukkan penghargaan tertinggi kepada usaha itu lantas membalasnya dengan ciuman mesra di kening sang isteri.

Tidak hairanlah pada titis peluh pun boleh ada sinar cinta!

Keindahan Rumahtangga Nabawi itu bukan dicampakkan Allah daripada Syurga tanpa harga. Ia datang bersama usaha Rasulullah sallallaahu ‘alayhi wa sallam dan isteri baginda pada menimbulkan perasaan cinta dan kasih sayang yang membawa ke Jannah.

Justeru bagi para suami dan isteri yang sudah masuk sedekad mengharung kehidupan, hitungkanlah kata-kata dan perbuatan seharianmu. Apakah ia baja menyubur cinta, atau bahang kemarau gersang.

Bertindak sebelum terlambat.

Mencegah lebih indah daripada mengubat.

Hambar kata mendingin rasa, perang tanpa berkasar suara, sebelum tiba malang dan petaka, beringat-ingatlah meniti usia.

ABU SAIF @ www.saifulislam.com
68000 AMPANG

Friday, October 9, 2009

Oh Cinta Ku

Abang cinta ayang.Berapa kali anda ucapkan kalimah ini pada isteri anda? Mungkin sesetengah orang akan bertanya, perlu ke nak ucap ayat tu? Tak faham2 lagi ke, mesti lah cinta, nama pun suami isteri. Bagi yang lain pula berpendapat ayat ini tidak sesuai lagi digunakan apabila usia perkahwinan masuk tahun tertentu atau apabila pasangan tersebut sudah mempunyai beberapa orang anak. Suasana romantis pun hilang dengan peredaran masa. Ish3.
Satu fakta bahawa setiap manusia suka kepada sifat keanak-anakan atau dengan kata lain manusia suka kepada sesuatu yang sempoi.setuju?. Selain itu, manusia suka kepada ayat-ayat yang indah.Perasaan manusia selamanya berubah-ubah. Demikian juga semua jenis emosi dalam diri kita. Kadar rasa cinta, benci, takut, senang dan semacamnya tidak akan pernah sama dari waktu ke waktu. Tetapi yang mungkin perubahan emosi itu tidak disedari atau disedari tetapi tidak terungkap.Situasi ini kemudian mengantar kepada kenyataan lain. Bahawa setiap kita tidak akan pernah mampu mengetahui dengan pasti perasaan orang lain terhadap dirinya. kita mungkin boleh menangkap itu dan sorotan mata, gerak tubuh dan perlakuan umum, tapi hakikat perasaan itu tetap tidak tertangkap selama ia tidak diungkap secara verbal.
Perlukah hakikat perasaan itu kita ucapkan, kalau isyarat isyaratnya sudah terungkap? Mungkin ya mungkin tidak. Tapi yang pasti bahawa kita semua dari semasa ke semasa menginginkan kepastian. Kepastian bahawa kita tidak salah memahami isyarat tersebut. Bukankah kepastian juga yang diminta Nabi Ibrahim ketika beliau ingin menghidupkan dan mematikan?
Dan suasana ketidakpastian itulah biasanya setan memasuki dunia hati kita. Karena salah satu misi besar setan, kata Ibnul Qoyyim al Jauziyyah adalah memisahkan orang yang saling mencintai “Dan mereka belajar dan keduanya sesuatu yang dengannya mereka dapat memisahkan seseorang dengan pasangannya.” (QS.2:102)Dari ‘bab’ inilah ungkapan verbal berupa kata menemukan maknanya. Bahkan sesungguhnya ada begitu banyak kekurangan dalam perbuatan yang beban psikologinya dapat terkurangi dengan kata.
Ketika Anda menolak seorang pengemis karena tidak memiliki sesuatu yang dapat Anda sedekahkan, itu tentu sakit bagi pengemis itu. Tapi Allah menyuruh kita ‘mengurangi’ beban sakit itu dengan kata yang baik. Bukankah “perkataan yang baik lebih baik dari sedekah yang disertai cacian?”******
Selanjutnya, perhatikan riwayat berikut ini: Suatu ketika seorang sahabat duduk bersama Rasulullah saw. Kemudian seorang sahabat yang lain berlalu di depan mereka. Sahabat yang duduk bersama Rasulullah saw. itu berkata kepada Rasulullah saw.“Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mencintai orang itu.“Sudahkah engkau menyatakan cintamu padanya?” tanya Rasulullah saw.“Belum, ya Rasululllah.” kata sahabat itu.“Pergilah menemui orang itu dan katakan bahawa kamu mencintainya,” kata Rasulullah sawJika kepada sesama sahabat,saudara atau ikhwah rasa cinta harus diungkapkan secara verbal, dapatkah kita membayangkan, seperti apakah verbalnya ungkapan rasa cinta yang semestinya kita berikan kepada isteri kita? Apakah makhluk yang satu itu, yang mendampingi kita lebih banyak dalam saat-saat lelah dan susah dibanding saat-saat suka dan lapang, tidak lebih berhak untuk mendengarkan ungkapan rasa cinta itu?
Sekarang ikuti kisah Aisyah berikut ini:Aisyah seringkali bermanja-manja dengan Rasulullah SAW. karena hanya dia satu—satunya isteri baginda yang perawan. Tapi, suatu waktu Aisyah masih bertanya juga kepada Rasulullah saw:Jika engkau turun di suatu lembah lalu engkau lihat di situ ada rumput yang telah dimakan —oleh gembala lain— dan ada rumput yang belum dimakan, di rumput ,manakah gembalamu engkau suruh makan?”Maka Rasulullah saw. menjawab,Tentulah pada rumput yang belum dimakan (gembala lain). (HR. Bukhari).
Apakah Aisyah tidak tahu bahwa Rasulullah saw. sangat dan sangat mencintainya? Tentu saja tahu. Bahkan sangat tahu. Tapi mengapa dia masih terus bertanya dengan ‘metafora’ seperti di atas, dengan menonjolkan keperawanannya sebagai kelebihan yang membuatnya berbeza dari isteri-isteri Rasulullah saw. yang lain?Apakah ia ragu? Saya tidak yakin kalau itu dirasakan Aisyah. Ia—dalam konteks hadits tadi— rasanya hanya menginginkan kepastian lebih kuat , peneguhan lebih banyak. Kerana kepastian itu, karena peneguhan itu, memberinya nuansa jiwa yang lain; semacam rasa puas — dari waktu ke waktu— bahawa ‘lebih’ dan isteri-isteri Rasulullah saw yang lain, bahawa ia lebih istimewa.Anda mungkin seringkali melihat betapa penatnya isteri anda menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan di rumah. Mulai dari memasak, mencuci sampai menjaga dan merawat anak. Kerja berat itu sering kali tidak disertai dengan sarana teknologi yang mungkin dapat memudahkannya. Setan apakah yang telah meyakinkan kita begitu rupa bahwa rnakhluk mulia yang bernama isteri tidak berhak kepada ayat“1 love,you” karena ia seorang ‘da’iyah’, karena ia seorang ‘mujahidah’ atau karena kita sudah sama-sama tahu, sama-sama paham, atau karena kita sudah sama-sama tua dan karenanya tidak cocok menggunakan cara ‘anak-anak muda’ menyatakan cinta?
Setan apakah yang telah membuat kita begitu pelit untuk memberikan sesuatu yang manis walaupun itu hanya ungkapan kata? Setan apakah yang telah membuat kita begitu angkuh untuk mau merendah dan membuka rahsia hati kita yang sesungguhnya dan menyatakannya secara sederhana dan tanpa beban?Tapi mungkin juga ada situasi begini. Anda mencintai isteri Anda. Anda juga tidak terhambat oleh keangkuhan untuk menyatakannya berluang-ulang. Masalahnya hanya satu, Anda tidak biasa melakukan itu. Dan itu membuat Anda kaku.Jika Anda termasuk golongan mi, tulislah pula puisi S Djoko Damono ini dan berikanlah ia kepada istri Anda melalui putera atau puteri terakhir Anda.
Aku InginAku ingin mencintaimu dengan sederhana :
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana :
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada