Friday, October 9, 2009

Oh Cinta Ku

Abang cinta ayang.Berapa kali anda ucapkan kalimah ini pada isteri anda? Mungkin sesetengah orang akan bertanya, perlu ke nak ucap ayat tu? Tak faham2 lagi ke, mesti lah cinta, nama pun suami isteri. Bagi yang lain pula berpendapat ayat ini tidak sesuai lagi digunakan apabila usia perkahwinan masuk tahun tertentu atau apabila pasangan tersebut sudah mempunyai beberapa orang anak. Suasana romantis pun hilang dengan peredaran masa. Ish3.
Satu fakta bahawa setiap manusia suka kepada sifat keanak-anakan atau dengan kata lain manusia suka kepada sesuatu yang sempoi.setuju?. Selain itu, manusia suka kepada ayat-ayat yang indah.Perasaan manusia selamanya berubah-ubah. Demikian juga semua jenis emosi dalam diri kita. Kadar rasa cinta, benci, takut, senang dan semacamnya tidak akan pernah sama dari waktu ke waktu. Tetapi yang mungkin perubahan emosi itu tidak disedari atau disedari tetapi tidak terungkap.Situasi ini kemudian mengantar kepada kenyataan lain. Bahawa setiap kita tidak akan pernah mampu mengetahui dengan pasti perasaan orang lain terhadap dirinya. kita mungkin boleh menangkap itu dan sorotan mata, gerak tubuh dan perlakuan umum, tapi hakikat perasaan itu tetap tidak tertangkap selama ia tidak diungkap secara verbal.
Perlukah hakikat perasaan itu kita ucapkan, kalau isyarat isyaratnya sudah terungkap? Mungkin ya mungkin tidak. Tapi yang pasti bahawa kita semua dari semasa ke semasa menginginkan kepastian. Kepastian bahawa kita tidak salah memahami isyarat tersebut. Bukankah kepastian juga yang diminta Nabi Ibrahim ketika beliau ingin menghidupkan dan mematikan?
Dan suasana ketidakpastian itulah biasanya setan memasuki dunia hati kita. Karena salah satu misi besar setan, kata Ibnul Qoyyim al Jauziyyah adalah memisahkan orang yang saling mencintai “Dan mereka belajar dan keduanya sesuatu yang dengannya mereka dapat memisahkan seseorang dengan pasangannya.” (QS.2:102)Dari ‘bab’ inilah ungkapan verbal berupa kata menemukan maknanya. Bahkan sesungguhnya ada begitu banyak kekurangan dalam perbuatan yang beban psikologinya dapat terkurangi dengan kata.
Ketika Anda menolak seorang pengemis karena tidak memiliki sesuatu yang dapat Anda sedekahkan, itu tentu sakit bagi pengemis itu. Tapi Allah menyuruh kita ‘mengurangi’ beban sakit itu dengan kata yang baik. Bukankah “perkataan yang baik lebih baik dari sedekah yang disertai cacian?”******
Selanjutnya, perhatikan riwayat berikut ini: Suatu ketika seorang sahabat duduk bersama Rasulullah saw. Kemudian seorang sahabat yang lain berlalu di depan mereka. Sahabat yang duduk bersama Rasulullah saw. itu berkata kepada Rasulullah saw.“Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mencintai orang itu.“Sudahkah engkau menyatakan cintamu padanya?” tanya Rasulullah saw.“Belum, ya Rasululllah.” kata sahabat itu.“Pergilah menemui orang itu dan katakan bahawa kamu mencintainya,” kata Rasulullah sawJika kepada sesama sahabat,saudara atau ikhwah rasa cinta harus diungkapkan secara verbal, dapatkah kita membayangkan, seperti apakah verbalnya ungkapan rasa cinta yang semestinya kita berikan kepada isteri kita? Apakah makhluk yang satu itu, yang mendampingi kita lebih banyak dalam saat-saat lelah dan susah dibanding saat-saat suka dan lapang, tidak lebih berhak untuk mendengarkan ungkapan rasa cinta itu?
Sekarang ikuti kisah Aisyah berikut ini:Aisyah seringkali bermanja-manja dengan Rasulullah SAW. karena hanya dia satu—satunya isteri baginda yang perawan. Tapi, suatu waktu Aisyah masih bertanya juga kepada Rasulullah saw:Jika engkau turun di suatu lembah lalu engkau lihat di situ ada rumput yang telah dimakan —oleh gembala lain— dan ada rumput yang belum dimakan, di rumput ,manakah gembalamu engkau suruh makan?”Maka Rasulullah saw. menjawab,Tentulah pada rumput yang belum dimakan (gembala lain). (HR. Bukhari).
Apakah Aisyah tidak tahu bahwa Rasulullah saw. sangat dan sangat mencintainya? Tentu saja tahu. Bahkan sangat tahu. Tapi mengapa dia masih terus bertanya dengan ‘metafora’ seperti di atas, dengan menonjolkan keperawanannya sebagai kelebihan yang membuatnya berbeza dari isteri-isteri Rasulullah saw. yang lain?Apakah ia ragu? Saya tidak yakin kalau itu dirasakan Aisyah. Ia—dalam konteks hadits tadi— rasanya hanya menginginkan kepastian lebih kuat , peneguhan lebih banyak. Kerana kepastian itu, karena peneguhan itu, memberinya nuansa jiwa yang lain; semacam rasa puas — dari waktu ke waktu— bahawa ‘lebih’ dan isteri-isteri Rasulullah saw yang lain, bahawa ia lebih istimewa.Anda mungkin seringkali melihat betapa penatnya isteri anda menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan di rumah. Mulai dari memasak, mencuci sampai menjaga dan merawat anak. Kerja berat itu sering kali tidak disertai dengan sarana teknologi yang mungkin dapat memudahkannya. Setan apakah yang telah meyakinkan kita begitu rupa bahwa rnakhluk mulia yang bernama isteri tidak berhak kepada ayat“1 love,you” karena ia seorang ‘da’iyah’, karena ia seorang ‘mujahidah’ atau karena kita sudah sama-sama tahu, sama-sama paham, atau karena kita sudah sama-sama tua dan karenanya tidak cocok menggunakan cara ‘anak-anak muda’ menyatakan cinta?
Setan apakah yang telah membuat kita begitu pelit untuk memberikan sesuatu yang manis walaupun itu hanya ungkapan kata? Setan apakah yang telah membuat kita begitu angkuh untuk mau merendah dan membuka rahsia hati kita yang sesungguhnya dan menyatakannya secara sederhana dan tanpa beban?Tapi mungkin juga ada situasi begini. Anda mencintai isteri Anda. Anda juga tidak terhambat oleh keangkuhan untuk menyatakannya berluang-ulang. Masalahnya hanya satu, Anda tidak biasa melakukan itu. Dan itu membuat Anda kaku.Jika Anda termasuk golongan mi, tulislah pula puisi S Djoko Damono ini dan berikanlah ia kepada istri Anda melalui putera atau puteri terakhir Anda.
Aku InginAku ingin mencintaimu dengan sederhana :
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana :
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

No comments: